Thursday, December 29, 2016

Filsafat Manusia dan Filsafat Agama



Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat manusia, yang dalam bahasa Inggris disebut philosophy of man, merupakan bagian dari filsafat yang berupaya menelisik eksistensi seorang manusia. Filsafat  manusia berupaya melukiskan siapa sebenarnya makhluk yang kita sebut sebagai manusia itu secara total. Penjelasan tentang filsafat manusia akan mencoba menyibak misteri dari seorang manusia dakam keseluruhan dimensinya. Hakikat kemanusiaannya, motif-motif yang melandasi setiap aktivitasnya, nilai, tujuan, dan makna hidupnya, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan eksistensinya sepanjang napas kehidupannya, karena eksistensi yang bernama manusia sangat kompleks yang mencakup dimensi spiritual, emosional, intelektual, moral, sekaligus fisikal, maka filsafat manusia bergumul dengan semua dimensi tersebut dalam totalitas kehidupan manusia, baik dalam pengalaman personalnya maupun pengalaman sosialnya.
            Dalam  perspektif  Zainal Abidin, bentuk atau jenis gejala apa pun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan secara rasional, bisa menjadi kajian filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spiritual, dan  universal dari manusia yang tidak bisa diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan kajian terpenting bagi filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan, dipahami, dan diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Dalam konteks ini, sebagai bagian dari sistem filsafat, secara metodis filsafat manusia mempunyai kedudukan yang  kurang lebih setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial dan estetika. Tetapi secara ontologis, ia mempunyai kedudukan yang relatif lebih penting karena semua cabang filsafat tersebut pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.Kini semakin banyak bermunculan  ilmu yang menggarap manusia dalam sudut pandang khusus. Asal usulnya corak bentuknya, tindakan-tindakannya adalah misalnya biologi, embriologi, psikologi, sosiologi, antropologi, etnologi, dan  sebagainya. Dikatakan oleh para filusuf  hingga kini tentang manusia tidaklah menimbulkan keraguan-keraguan, meraka telah  menyajikan berbagai konsepsi tentang manusia yang  tampaknya saling bertentangan. Bagi Plato dan  Platinus, manusia itu adalah suatu  makhluk  ilahi, bagi Epikuros dan  Lukretius, sebaliknya. Manusia adalah makhluk yang berumur  pendek  lahir  karena  kebetulan, dan akhirnya sama sekali lenyap dan masih banyak pendapat-pandapat yang lain yang juga bertentangan.
      Memang berat bahwa ilmu pengetahuan, seni dan  sastra  mengajarkan banyak kepada  kita  mengenai aspek manusia yang berbeda-beda, dan berbagai tahap dalam  pertumbuhan serta evolusinya. Akan  tetapi, pada suatu ketika juga penting bertanya pada diri sendiri. Apakah manusia itu? Apakah  keseluruhannya itu yang begitu banyak aspeknya? Seperti yang dikatakan Victor E. Frankl, seorang psikiater dari Australia “Tantangan adalah bagimana mencapai, mempertahankan dan  membangun  kembali suatu konsep yang menyatukan tentang manusia, di hadapan data-data dari penemuan-penemuan terpencar-pencar yang di sajikan kepada kita oleh suatu ilmu manusia yang begitu digolong-golongkan (a compartmentalized science of man)”.
Adanya watak sifat ini memungkinkan membedakan  manusia secara pasti dari  makhluk-makhluk  lain. Tanpa adanya watak sifat yang dimiliki bersama oleh semua  manusia, filsafat dan setiap ilmu pengetahuan tentang manusia tidak akan terjalan. Para ahli antropologi mengajari kita bahwa apa yang orang Eropa dan Amerika di anggap tanpa ragu-ragu sebagai ciri khas kelakuan  manusia tidak lah dianggap demikian oleh orang Afrika atau Asia. Bahkan dari orang-orang dari kebudayaan yang sama tidak selalu mudah untuk menyesuaikan pendapat tentang apa yang normal apa yang tidak, tentang  yang bermoral dan yang tidak. Misalnya, tentang cara berdandan dan terutama tentang hidup seksual. Itu tidak berarti bahwa tidak ada watak sifat manusia, melainkan bahwa hal itu adalah kompleks.
a.              yang membedakan filsafat manusia dari ilmu-ilmu lain tentang manusia
Ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia, sedikit mirip dengan ilmu tentang alam, berbudaya untuk menemukan  hukum, perbuatan manusia, sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara indrawi/bisa dijadikan objek untuk  introspeksi. Adapun filsafat  menyerahkan  penyelesaiannya terhadap segi yang lebih mendalam dari manusia, karena lebih fundamental dan lebih ontologis, maka sudutnya lebih luas dan lebih mempersatukan, lebih global. Vokabulet yang khas baginya adalah mengenai gagasan-gagasan universal dan terutama transcendental, yang menggambarkansifat-sifat yang mepengaruhi segala realitas : kebenaran, kebaikan, keindahan, aktivis, alteritas, dll.
Mereka terus-menerus menggunakan gambar-gambar dan lambang-lambang. Meraka menciptakan karya-karya, tokoh-tokoh yang masing-masing mempunyai semacam kehidupan sendiri . karya-karya dari tokoh itu banyak memperkaya pengetahuan kita tentang manusia universal.
Akan tetapi itu selalu terjadi melalui drama perorangan dan pribadi, peristiwa-peristiwa khusus seperti antiguna, Hamlet, Lorenzacio), sedangkan filsafat berupaya menarik secara langsung ketentuan-ketentuan universal yang ajek dari watak sifat manusia.

b.             Titik tolak dan objek tepat filsafat manusia
Walaupun filsafat selalu tergantung pada konteks kebudayaan dimana ia berkembang, namun ia tetap merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan segala pengetahuan dari suatu zaman. Itu disebabkan karena kesimpulan-kesimpulan tersebut tidak menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh filsafat dari sudut pandang yangkhas baginya jadi tidak dituntut bawa filsafat mempergunakan kesimpulan-kesimpulan itu sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka seharusnya lebih baik bertolak dari pengetahuan tentang manusia serta dunia yang secara wajar ada pada setiap individu, begitu pula filsafat manusia memiliki manusia itu sendiri sebagai objek inaterial, tetapi objek formalnya berbeda dengan objek formal ilmu-ilmu lain tentang manusia. Objek formal filsafat itu adalah inti manusia, setrukturnya yang fundamental. Apa artinya ? Pertama struktur fundamental itu bukan sesuatu yang bersifat fisik, yang dapat digambarkan, ia hanya dapat diketahui melalui usaha daya pikir saja. Ia bukan bagian atau potongan dari si manusia, juga bukan alat yang kiranya tersembunyi di dalam organisme, seperti motor, mobil didalam kerangkanya. Keyakinan bahwa struktur otak bentuk fundamental semacam ini harus terdapat didalam manusia bukan hasil dari suatu persepsi inderawi, melainkan kesimpulan dari suatu penangkapan intelektual setelah ditentukan perspektif serta titik pandang yang merupakan ciri khas filusuf. Maka sebagai penutup introduksi ini di jelaskan secara singkat metode filsafat.

Metode dan Katakteristik Filsafat Manusia
            Dalam  perspektif  Zainal Abidin, filsafat  manusia menggunakan metode sintesis dan reflektif, serta mempunyai karakteristik ekstensif, intensif, dan kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang menyintesiskan pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi, tampak misalnya dari sistem-sistembesar filsafat Bergon tentang ”daya penggerak hidup (elan vital)”; filsafat Schopenhauer tentang “kehendak”; filsafat  Hegel tentang “roh”; filsafat Casiser tentang “Animal Simbolicum”; filsafat materialis tentang hakikat “materi” dan sebagainya. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi menyeluruh dan rasional tentang (hakikat) manusia.
            Penggunaan metode refleksi dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-pemikiran filsafat besar seperti yang dikembangkan, misalnya oleh Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl Jasper, dan Jean Paul Sartre. Refleksi, demikian ditulis oleh filsuf Paul Ricoeur, merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat, termasuk filsafat  manusia. Refleksi yang dimaksudkan disini menunjuk pada dua hal: pertama, pertanyaan tentang esensi sesuatu hal (misalnya : apakah esensi keindahan itu; apakah esensi kebenaran itu), dan kedua, proses  pemahaman diri (self-understanding) berdasarkan  pada totalitas gejala dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya.


            Dalam filsafat manusia, bukan hanya das Sein (kenyataan sebagaimana adanya) yang dipertimbangkan, tetapi juga das Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai yang selain dipandang subjektif tetapi juga ideal, mewarnai kegiatan filsafat manusia. Nilai-nilai, apakah itu personal, sosia, moral, religius, ataupun kemanusiaan, bukan barang haram atau terlarang di dalam filsafat manusia. Itulah sebabnya kita tidak perlu heran kalur Karl Marx menganjurkan kepada para filsuf bahwa tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan duinia (das Sein), tetapi mengubah dunia (das Sollen). Kita pun tidak perlu heran kalau  Nietzsche mengajak kita untuk mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh, dan cepat puas diri (yang menurut penelitiannya berasal dari “moral budak”) dan menggantinya dengan kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa, hebat, dan berani ”moral tuan”.

Das Man: Manusia Inautentik
            Menurut Heidegger, kondisi manusia selalu terentang antara dua eksistensi: autentik dan inautentik. Modus eksistensi autentik adalah kesadaran bahwa akulah yang harus menentukan pilihanku sendiri sementara modus eksistensi  inautentik adalah hilangnya kesadaran akan aku yang autentik. Satu kata yang merangkum semua aktivitas keseharian hubungan manusia dengan dunia seisinya adalah Sorge (care atau concern) yang berarti kekhawatiran, perhatian, kepedulian, maupun pemeliharaan.
            Sorge mencakup tiga komponen  yaitu terlempar di dunia (faktisitas), larut dalam  keseharian (kejatuhan), dan mengantisipasi masa depan (eksistensialitas atau pemahaman). Di anatara tiga elemen Sorge tersebut, manusia menjadi manusia inautentik apabila ia larut dalam rutintas keseharian. Dengan istilah das Man, Heidegger hendak menunjukkan keterjatuhan (Verfalensein) bahwa manusia pada  awalnya berada dalam  kondisi “lari” dari dirinya sendiri dan terperangkap dalam eksistensi yang anonim dan tidak autentik.



Dasein: Manusia Autentik
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa pengertian Dasein adalah keberadaan  manusia yang terlempar di dalam dunia, begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Heidegger menyebut fakta ini dengan faktisitas (Faktizitat),  yakni kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tidak pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini, juga kita diberitahu ke mana harus bergerak di dunia ini. kita ada begitu saja, kitaa “di sana”, di dalam dunia.
            Orang saleh (beragama) akan protes dengan pendapat ini, karena agama jelas memberitahu bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Tetapi bagi Heidegger, kesadaran religius ini harus ditangguhkan dulu. Sebab, faktanya kesadaran religius ini justru membius kebanyakan orang beragama dengan tidak pernah lagi mempertanyakan eksistensinya dalam kehidupan ini. selanjutnya menciptakan makna atau eksistensialitas. Keberadaan manusia di dunia tidak hanya nyata tapi sekaligus juga abstrak. Melalui segala subjektivitas yang manusia miliki, menurut Heidgger, ia benar-benar terlibat, terikat, berkomitmen dan juga menjadi intim dengan dunia banalitas tindak tanduknya sudah berada dalam cakrawala kemengadaan (horizon of being).
            Dalam kata-kata Heidegger: “The interpretation of something as something is essentially grounded in fore-having, fore-sight, and fore-conception. Interpretation is never a presuppositionless grasping of something previously given”. Dengan demikian, pemahaman atau pemaknaan tidak pernah bertolak dari tabalu rasa, tetapi senantiasa terjadi atas dasar suatu pra-pemahaman lebih dulu. Di sini manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari selaput ruang-waktu yang menyelubunginya. Setiap manusia membawa arus sejarahnya masing-masing. Walaupun demikian, untuk mencapai otentisitas diri, manusia harus mengorientasikan diri masa depan dan manusia lebih ditentukan oleh rencana masa depan ketimbang masa lalunya.



Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia.
Agama ialah suatu sistem credo (tata keyakinan), ritus (peribadatan) dan sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan alam lainnya sesuai tata ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut sumbernya agama dibagi menjadi 2 yaitu:
1.      Agama samawi (agama wahyu atau langit)
2.      Agama budaya (agama bumi)
Contoh dari agama samawi salah satunya adalah islam. Agama islam adalah wahyu dari Allah yang diturunkan pada rosul-Nya sebagai suatu sistem keyakinan dan tata aturan yang mengatur segala pri kehidupan dan kehidupan manusia dalam hubungan nya dengan Tuhan, sesama makhluk maupun alam yang bertujuan mencari keridhoan Allah serta keselamatan dunia dan akhirat.
Agama islam bersumber dari kitab suci yaitu kodifikasi wahyu Allah swt untuk umat manusia di atas planet bumi berupa Al quran sebagai penyempurna wahyu-wahyu Allah sebelumnya.
Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Dari sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang Bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan yang Kudus.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas berbagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.     

Hubungan Filsafat Manusia dengan Agama
Menurut Hocking (1946), agama merupakan obat dari kesulitan dan kekhawatiran yang dihadapi manusia, sekurang-kurangnya meringankan manusia dari kesulitan. Agama merupakan pernyataan pengharapan manusia dalam dunia yang besar atau jagat raya, karena ada jalan hidup yang benar yang perlu ditemukan. Agama menjadi suatu lembaga yang bersemangat untuk memperoleh kehidupan yang baik dan merenungkannya sebagai suatu tuntutan kosmis. Manusia menjadi penganutnya yang setia terhadap agama karena manurus keyakinannya agama telah memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya yang tidak mungkin dapat diuji dengan pengalaman maupun oleh akal seperti halnya menguji kebenaran sains dan filsafat karena agama lebih banyak menyangkut perasaan dan keyakinan.
Agama merupakan sesuatu yang ada, karena keberadaanya itulah makanya agama dikatakan pengkajian filsafat. Landasan agama atau tauhid merupakan landasan utama yang perlu diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk keselamatan di dunia dan menjadi bekal di akhirat nanti. Pandangan filsafat menurut agama islam tertung semuanga pada Al-qur’an yang dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup bagi orang-orang yang beriman. Karena dia yakin bahwa semuanya, baik hidup, mati, kapan, dan dimanapun ia berada adalah kekuasaan dan kehendak yang maha kuasa yaitu Allah SWT.
Filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang, karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia. Ada beberapa hal yang penting dalam agama yaitu : menyakini adanya Tuhan yang menciptakan semua yang ada dilangit dan dibumi dan mengatur semua kehidupan manusia, adanya kebajikan, sifat buruk dan baik dan lain sebagainya, juga diselidi oleh filsafat karena itu merupakan atau mungkin ada secara umum kebenaran dalam agama didasarkan pada wahyu atau firman-firman Allah, sedangkan kebenaran dalam filsafat didasarkan pada pikiran belaka, agama telah menegaskan bahwa agama itu untuk orang-orang yang berakal dan berilmu pengetahuan. Maksudnya adalah dalam agama terutama gama islam adanya aturan-aturan yang ditetapkan Allah, dimana aturan Allah adalah wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Jadi agama dan manusia merupakan dua yang saling berhubungan dan saling berkaitan, maksudnya adalah didalam agama ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, sedangkan dalam manusia  juga ada aturan yang harus dipatuhi dan semua aturan baik manusia maupun agama dijalankan dan diterapkan dengan baik dan dijalankan sesuai kaidah.
Dimana dapat dikatakan hubungan filsafat dengan agama diantaranya : setiap manusia diharapkan merenung dalam hikmah untuk proses dan usaha-usaha  suatu bangsa guna mempersiapkan generasi muda dan warga negara agar beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan menjadi warga negara sadar dan insaf tentang hidup serta mempunyai tauladan yang dapat dijadikan perinsip dan keyakinan.



DAFTAR PUSTAKA
Filsafat umum seb4ah -ende2atan te0at52 aqh14

No comments:

Post a Comment