Pengertian Filsafat Manusia
Filsafat
manusia, yang dalam bahasa Inggris disebut philosophy of man, merupakan
bagian dari filsafat yang berupaya menelisik eksistensi seorang manusia.
Filsafat manusia berupaya melukiskan
siapa sebenarnya makhluk yang kita sebut sebagai manusia itu secara total.
Penjelasan tentang filsafat manusia akan mencoba menyibak misteri dari seorang
manusia dakam keseluruhan dimensinya. Hakikat kemanusiaannya, motif-motif yang
melandasi setiap aktivitasnya, nilai, tujuan, dan makna hidupnya, serta segala
sesuatu yang berhubungan dengan eksistensinya sepanjang napas kehidupannya,
karena eksistensi yang bernama manusia sangat kompleks yang mencakup dimensi
spiritual, emosional, intelektual, moral, sekaligus fisikal, maka filsafat
manusia bergumul dengan semua dimensi tersebut dalam totalitas kehidupan
manusia, baik dalam pengalaman personalnya maupun pengalaman sosialnya.
Dalam perspektif Zainal Abidin, bentuk atau jenis gejala apa
pun tentang manusia, sejauh bisa dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan
secara rasional, bisa menjadi kajian filsafat manusia. Aspek-aspek,
dimensi-dimensi, atau nilai-nilai yang bersifat metafisis, spiritual, dan universal dari manusia yang tidak bisa
diobservasi dan diukur melalui metode-metode keilmuan, bisa menjadi bahan
kajian terpenting bagi filsafat manusia. Aspek-aspek, dimensi-dimensi, atau
nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang hendak dipikirkan, dipahami, dan
diungkap maknanya oleh filsafat manusia.
Dalam
konteks ini, sebagai bagian dari sistem filsafat, secara metodis filsafat
manusia mempunyai kedudukan yang kurang
lebih setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi,
epistemologi, filsafat sosial dan estetika. Tetapi secara ontologis, ia
mempunyai kedudukan yang relatif lebih penting karena semua cabang filsafat
tersebut pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia,
yang tidak lain merupakan persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian
filsafat manusia.Kini semakin banyak
bermunculan ilmu yang menggarap manusia
dalam sudut pandang khusus. Asal usulnya corak bentuknya, tindakan-tindakannya
adalah misalnya biologi, embriologi, psikologi, sosiologi, antropologi,
etnologi, dan sebagainya. Dikatakan oleh
para filusuf hingga kini tentang manusia
tidaklah menimbulkan keraguan-keraguan, meraka telah menyajikan berbagai konsepsi tentang manusia
yang tampaknya saling bertentangan. Bagi
Plato dan Platinus, manusia itu adalah
suatu makhluk ilahi, bagi Epikuros dan Lukretius, sebaliknya. Manusia adalah makhluk
yang berumur pendek lahir karena
kebetulan, dan akhirnya sama sekali
lenyap dan masih banyak pendapat-pandapat yang lain yang juga bertentangan.
Memang berat bahwa ilmu pengetahuan, seni dan sastra mengajarkan
banyak kepada kita mengenai aspek manusia yang berbeda-beda, dan
berbagai tahap dalam pertumbuhan serta
evolusinya. Akan tetapi, pada suatu
ketika juga penting bertanya pada diri sendiri. Apakah manusia itu? Apakah keseluruhannya itu yang begitu banyak
aspeknya? Seperti yang dikatakan Victor E. Frankl, seorang psikiater dari
Australia “Tantangan adalah bagimana mencapai, mempertahankan dan membangun kembali suatu konsep yang menyatukan tentang
manusia, di hadapan data-data dari penemuan-penemuan terpencar-pencar yang di
sajikan kepada kita oleh suatu ilmu manusia yang begitu digolong-golongkan (a
compartmentalized science of man)”.
Adanya watak sifat ini
memungkinkan membedakan manusia secara
pasti dari makhluk-makhluk lain. Tanpa adanya watak sifat yang dimiliki
bersama oleh semua manusia, filsafat dan
setiap ilmu pengetahuan tentang manusia tidak akan terjalan. Para ahli
antropologi mengajari kita bahwa apa yang orang Eropa dan Amerika di anggap
tanpa ragu-ragu sebagai ciri khas kelakuan manusia tidak lah dianggap demikian oleh orang
Afrika atau Asia. Bahkan dari orang-orang dari kebudayaan yang sama tidak
selalu mudah untuk menyesuaikan pendapat tentang apa yang normal apa yang
tidak, tentang yang bermoral dan yang
tidak. Misalnya, tentang cara berdandan dan terutama tentang hidup seksual. Itu
tidak berarti bahwa tidak ada watak sifat manusia, melainkan bahwa hal itu
adalah kompleks.
a.
yang membedakan filsafat manusia dari ilmu-ilmu lain tentang manusia
Ilmu-ilmu pengetahuan
tentang manusia, sedikit mirip dengan ilmu tentang alam, berbudaya untuk
menemukan hukum, perbuatan manusia,
sejauh perbuatan itu dapat dipelajari secara indrawi/bisa dijadikan objek untuk
introspeksi. Adapun filsafat menyerahkan penyelesaiannya terhadap segi yang lebih
mendalam dari manusia, karena lebih fundamental dan lebih ontologis, maka
sudutnya lebih luas dan lebih mempersatukan, lebih global. Vokabulet yang khas
baginya adalah mengenai gagasan-gagasan universal dan terutama transcendental,
yang menggambarkansifat-sifat yang mepengaruhi segala realitas : kebenaran,
kebaikan, keindahan, aktivis, alteritas, dll.
Mereka terus-menerus
menggunakan gambar-gambar dan lambang-lambang. Meraka menciptakan karya-karya,
tokoh-tokoh yang masing-masing mempunyai semacam kehidupan sendiri .
karya-karya dari tokoh itu banyak memperkaya pengetahuan kita tentang manusia
universal.
Akan tetapi itu selalu
terjadi melalui drama perorangan dan pribadi, peristiwa-peristiwa khusus
seperti antiguna, Hamlet, Lorenzacio), sedangkan filsafat berupaya menarik
secara langsung ketentuan-ketentuan universal yang ajek dari watak sifat
manusia.
b.
Titik tolak dan objek tepat filsafat manusia
Walaupun filsafat selalu
tergantung pada konteks kebudayaan dimana ia berkembang, namun ia tetap
merupakan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan jumlah atau perpaduan
segala pengetahuan dari suatu zaman. Itu disebabkan karena
kesimpulan-kesimpulan tersebut tidak menjawab secara langsung
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh filsafat dari sudut pandang yangkhas
baginya jadi tidak dituntut bawa filsafat mempergunakan kesimpulan-kesimpulan
itu sebagai titik tolak yang wajib bagi pemikirannya. Maka seharusnya lebih
baik bertolak dari pengetahuan tentang manusia serta dunia yang secara wajar
ada pada setiap individu, begitu pula filsafat manusia memiliki manusia itu
sendiri sebagai objek inaterial, tetapi objek formalnya berbeda dengan objek
formal ilmu-ilmu lain tentang manusia. Objek formal filsafat itu adalah inti
manusia, setrukturnya yang fundamental. Apa artinya ? Pertama struktur
fundamental itu bukan sesuatu yang bersifat fisik, yang dapat digambarkan, ia
hanya dapat diketahui melalui usaha daya pikir saja. Ia bukan bagian atau
potongan dari si manusia, juga bukan alat yang kiranya tersembunyi di dalam
organisme, seperti motor, mobil didalam kerangkanya. Keyakinan bahwa struktur
otak bentuk fundamental semacam ini harus terdapat didalam manusia bukan hasil
dari suatu persepsi inderawi, melainkan kesimpulan dari suatu penangkapan
intelektual setelah ditentukan perspektif serta titik pandang yang merupakan ciri
khas filusuf. Maka sebagai penutup introduksi ini di jelaskan secara singkat
metode filsafat.
Metode dan Katakteristik Filsafat Manusia
Dalam perspektif Zainal Abidin, filsafat manusia menggunakan metode sintesis dan
reflektif, serta mempunyai karakteristik ekstensif, intensif, dan
kritis. Penggunaan metode sintesis dalam filsafat manusia, yang
menyintesiskan pengalaman dan pengetahuan ke dalam satu visi, tampak misalnya
dari sistem-sistembesar filsafat Bergon tentang ”daya penggerak hidup (elan
vital)”; filsafat Schopenhauer tentang “kehendak”; filsafat Hegel tentang “roh”; filsafat Casiser tentang
“Animal Simbolicum”; filsafat materialis tentang hakikat “materi” dan
sebagainya. Dengan metode sintesis maka tercapailah visi menyeluruh dan
rasional tentang (hakikat) manusia.
Penggunaan metode refleksi
dalam filsafat manusia tampak dari pemikiran-pemikiran filsafat besar seperti
yang dikembangkan, misalnya oleh Descartes, Kant, Edmund Husserl, Karl Jasper,
dan Jean Paul Sartre. Refleksi, demikian ditulis oleh filsuf Paul Ricoeur,
merupakan metode yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat, termasuk filsafat manusia. Refleksi yang dimaksudkan disini
menunjuk pada dua hal: pertama, pertanyaan tentang esensi sesuatu hal
(misalnya : apakah esensi keindahan itu; apakah esensi kebenaran itu), dan kedua,
proses pemahaman diri
(self-understanding) berdasarkan pada
totalitas gejala dan kejadian manusia yang sedang direnungkannya.
Dalam filsafat manusia, bukan hanya das
Sein (kenyataan sebagaimana adanya) yang dipertimbangkan, tetapi juga das
Sollen (kenyataan yang seharusnya). Ini berarti bahwa nilai yang selain
dipandang subjektif tetapi juga ideal, mewarnai kegiatan filsafat manusia.
Nilai-nilai, apakah itu personal, sosia, moral, religius, ataupun kemanusiaan,
bukan barang haram atau terlarang di dalam filsafat manusia. Itulah sebabnya
kita tidak perlu heran kalur Karl Marx menganjurkan kepada para filsuf bahwa
tugas mereka sekarang bukan lagi menerangkan duinia (das Sein),
tetapi mengubah dunia (das Sollen). Kita pun tidak perlu heran
kalau Nietzsche mengajak kita untuk
mendobrak kebudayaan yang lembek, mapan, bodoh, dan cepat puas diri (yang
menurut penelitiannya berasal dari “moral budak”) dan menggantinya dengan
kebudayaan yang adikuasa, megah, kompetitif, perkasa, hebat, dan berani ”moral
tuan”.
Das Man: Manusia Inautentik
Menurut Heidegger, kondisi manusia
selalu terentang antara dua eksistensi: autentik dan inautentik. Modus
eksistensi autentik adalah kesadaran bahwa akulah yang harus menentukan
pilihanku sendiri sementara modus eksistensi inautentik adalah hilangnya kesadaran akan aku
yang autentik. Satu kata yang merangkum semua aktivitas keseharian hubungan
manusia dengan dunia seisinya adalah Sorge (care atau concern)
yang berarti kekhawatiran, perhatian, kepedulian, maupun pemeliharaan.
Sorge mencakup tiga komponen yaitu terlempar di dunia (faktisitas), larut
dalam keseharian (kejatuhan), dan
mengantisipasi masa depan (eksistensialitas atau pemahaman). Di anatara tiga
elemen Sorge tersebut, manusia menjadi manusia inautentik apabila ia
larut dalam rutintas keseharian. Dengan istilah das Man, Heidegger
hendak menunjukkan keterjatuhan (Verfalensein) bahwa manusia pada awalnya berada dalam kondisi “lari” dari dirinya sendiri dan
terperangkap dalam eksistensi yang anonim dan tidak autentik.
Dasein: Manusia Autentik
Sebagaimana
telah diungkapkan bahwa pengertian Dasein adalah keberadaan manusia yang terlempar di dalam dunia, begitu
saja tanpa tahu dari mana dan mau ke mana. Heidegger menyebut fakta ini
dengan faktisitas (Faktizitat),
yakni kenyataan bahwa kita ada di dunia ini bersifat niscaya. Kita tidak
pernah ditanya lebih dahulu mau atau tidak hidup di dunia ini, juga kita
diberitahu ke mana harus bergerak di dunia ini. kita ada begitu saja, kitaa “di
sana”, di dalam dunia.
Orang saleh (beragama) akan protes
dengan pendapat ini, karena agama jelas memberitahu bahwa manusia berasal dari
Allah dan akan kembali kepada-Nya. Tetapi bagi Heidegger, kesadaran religius ini
harus ditangguhkan dulu. Sebab, faktanya kesadaran religius ini justru membius
kebanyakan orang beragama dengan tidak pernah lagi mempertanyakan eksistensinya
dalam kehidupan ini. selanjutnya menciptakan makna atau eksistensialitas.
Keberadaan manusia di dunia tidak hanya nyata tapi sekaligus juga abstrak. Melalui
segala subjektivitas yang manusia miliki, menurut Heidgger, ia benar-benar
terlibat, terikat, berkomitmen dan juga menjadi intim dengan dunia banalitas
tindak tanduknya sudah berada dalam cakrawala kemengadaan (horizon of being).
Dalam kata-kata Heidegger: “The
interpretation of something as something is essentially grounded in
fore-having, fore-sight, and fore-conception. Interpretation is never a
presuppositionless grasping of something previously given”. Dengan
demikian, pemahaman atau pemaknaan tidak pernah bertolak dari tabalu rasa,
tetapi senantiasa terjadi atas dasar suatu pra-pemahaman lebih dulu. Di sini
manusia tak pernah bisa melepaskan diri dari selaput ruang-waktu yang
menyelubunginya. Setiap manusia membawa arus sejarahnya masing-masing. Walaupun
demikian, untuk mencapai otentisitas diri, manusia harus mengorientasikan diri
masa depan dan manusia lebih ditentukan oleh rencana masa depan ketimbang masa
lalunya.
Pengertian Agama
Kata “agama”
berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang
berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia.
Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi
orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia.
Agama ialah suatu sistem credo (tata
keyakinan), ritus (peribadatan) dan sistem norma yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan alam lainnya sesuai tata ketentuan
yang telah ditetapkan.
Menurut sumbernya agama dibagi menjadi 2 yaitu:
Menurut sumbernya agama dibagi menjadi 2 yaitu:
1.
Agama samawi (agama wahyu atau
langit)
2.
Agama budaya (agama bumi)
Contoh dari agama samawi salah satunya
adalah islam. Agama islam adalah wahyu dari Allah yang diturunkan pada
rosul-Nya sebagai suatu sistem keyakinan dan tata aturan yang mengatur segala
pri kehidupan dan kehidupan manusia dalam hubungan nya dengan Tuhan, sesama
makhluk maupun alam yang bertujuan mencari keridhoan Allah serta keselamatan
dunia dan akhirat.
Agama islam bersumber dari kitab
suci yaitu kodifikasi wahyu Allah swt untuk umat manusia di atas planet bumi
berupa Al quran sebagai penyempurna wahyu-wahyu Allah sebelumnya.
Dick Hartoko
menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara
manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang
merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul
dalam kitab suci yang harus dibaca. Dari sisi lain
kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaran agama memang mempunyai
sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan
hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Religi juga
merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam
semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua
itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala
sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus.
yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak
sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum
pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum
jelas. Religi-religi yang Bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk
dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan yang Kudus.
Jadi religi
adalah hubungan antara manusia dengan yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas berbagai kemungkinan, yaitu
bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi
manusia.
Hubungan Filsafat Manusia dengan Agama
Menurut Hocking (1946), agama
merupakan obat dari kesulitan dan kekhawatiran yang dihadapi manusia,
sekurang-kurangnya meringankan manusia dari kesulitan. Agama merupakan
pernyataan pengharapan manusia dalam dunia yang besar atau jagat raya, karena
ada jalan hidup yang benar yang perlu ditemukan. Agama menjadi suatu lembaga
yang bersemangat untuk memperoleh kehidupan yang baik dan merenungkannya
sebagai suatu tuntutan kosmis. Manusia menjadi penganutnya yang setia terhadap
agama karena manurus keyakinannya agama telah memberikan sesuatu yang sangat
berharga bagi hidupnya yang tidak mungkin dapat diuji dengan pengalaman maupun
oleh akal seperti halnya menguji kebenaran sains dan filsafat karena agama
lebih banyak menyangkut perasaan dan keyakinan.
Agama merupakan sesuatu yang ada, karena
keberadaanya itulah makanya agama dikatakan pengkajian filsafat. Landasan agama
atau tauhid merupakan landasan utama yang perlu diperhatikan dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk keselamatan di dunia dan menjadi bekal di
akhirat nanti. Pandangan filsafat menurut agama islam tertung semuanga pada
Al-qur’an yang dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup bagi orang-orang
yang beriman. Karena dia yakin bahwa semuanya, baik hidup, mati, kapan, dan
dimanapun ia berada adalah kekuasaan dan kehendak yang maha kuasa yaitu Allah
SWT.
Filsafat merupakan pertolongan yang
sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang,
karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai
hakikat manusia dan dunia. Ada beberapa hal yang penting dalam agama yaitu :
menyakini adanya Tuhan yang menciptakan semua yang ada dilangit dan dibumi dan
mengatur semua kehidupan manusia, adanya kebajikan, sifat buruk dan baik dan
lain sebagainya, juga diselidi oleh filsafat karena itu merupakan atau mungkin
ada secara umum kebenaran dalam agama didasarkan pada wahyu atau firman-firman
Allah, sedangkan kebenaran dalam filsafat didasarkan pada pikiran belaka, agama
telah menegaskan bahwa agama itu untuk orang-orang yang berakal dan berilmu
pengetahuan. Maksudnya adalah dalam agama terutama gama islam adanya aturan-aturan
yang ditetapkan Allah, dimana aturan Allah adalah wajib, sunat, haram, makruh
dan mubah. Jadi agama dan manusia merupakan dua yang saling berhubungan dan
saling berkaitan, maksudnya adalah didalam agama ada aturan-aturan yang harus
dipatuhi, sedangkan dalam manusia juga
ada aturan yang harus dipatuhi dan semua aturan baik manusia maupun agama
dijalankan dan diterapkan dengan baik dan dijalankan sesuai kaidah.
Dimana dapat dikatakan hubungan
filsafat dengan agama diantaranya : setiap manusia diharapkan merenung dalam hikmah
untuk proses dan usaha-usaha suatu
bangsa guna mempersiapkan generasi muda dan warga negara agar beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan menjadi warga negara sadar dan insaf
tentang hidup serta mempunyai tauladan yang dapat dijadikan perinsip dan
keyakinan.
DAFTAR PUSTAKA
Filsafat umum seb4ah -ende2atan te0at52 aqh14
No comments:
Post a Comment