Al-Farabi, nama
lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir
di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana).
Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia
dan ibunya berkebangsaan Turki. Ia dikenal dikalangan latin abad tengah dengan
sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari
nama kota Farab, tempat ia dilahirkan. Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya
sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara
Turki.
Sejak kecil al-Farabi
sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan
tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran,
Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan
Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada
sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh
macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
Menurut literatur,
al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada
Abu Bakar al-Saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang
Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran,
pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani.
Tetapi tidak berapa lama di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam
ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk
berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Dalam dunia
intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany
(guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang
menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga
meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan
karena ia banyak memamhami filsafat Aristoteles.
Sebagai seorang filosof
yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di
dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan
dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang
berbau politik di kala itu. Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau
dilihat dari segi pemerintahan maka ia juga rugi karena kurangnya pengalaman
dalam mengelola urusan kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap
kenyataan politik di kala itu.
Di antara pemikiran
al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi
bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memberikan
ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar
Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya
mereka adalah sebagai berikut:
a. Ulasannya
terhadap karya Aristoteles
1. Burhan
(dalil),
2. Ibarat
(keterangan),
3. Khitobah
(cara berpidato),
4. Al-Jadal
(argumentasi/berdebat),
5. Qiyas
(analogi),
6. Mantiq
(logika)
b. Ulasannya
terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
c. Ulasannya
terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”
Sedangkan
karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya :
a. Al-Jami’u
Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
b. Tahsilu
as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
c. AsSuyasatu
Al Madinah (politik pemerintahan),
d. Fususu
Al Taram (hakikat kebenaran),
e. Arro’u
Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
f. As
Syiasyah (ilmu politik),
g. Fi
Ma’ani Al Aqli,
h. Ihsho’u
Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
i.
At Tangibu ala As Sa’adah
j.
Isbatu Al Mufaraqat,
k. Al
Ta’liqat.
1.
Filsafat Emanasi
Salah
satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori
Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka
zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang
Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari,
sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk
terjadi dari zat-Nya, timbullah suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini
sama seperti form (surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.
Oleh
sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak
bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari
materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun.
Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini
dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan
di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui
kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat
materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna.
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak
Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin
ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta (Shani, Agent), yang
menciptakan dari tiada menjadi ada (cretio ex nihilo). Al-Farabi dan para
filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka
mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan
demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti,
Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang
qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu,
meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an
ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai
contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا
أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya
segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir
tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan
merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul
wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal
pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua
berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga
(wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a. Wujud
II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit
Pertama (al-Asmaul awwal),
b. Wujud
III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
c. Wujud
IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
d. Wujud
V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
e. Wujud
VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
f. Wujud
VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
g. Wujud
VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
h. Wujud
IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Merkurius,
i.
Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan
Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada
pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan
kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang
berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula,
kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari
Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah
benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi
menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk
mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal
bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan,
maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek
pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek
pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam
kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang
mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.
2.
Filsafat Metafisika
Mengenai
pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof lainnya, yakni
membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3
(tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya
sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori
juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya
tentang Wujud tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa
benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu
dibahas apakah Wujud serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan
burhan bahwa Wujud serupa itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau banyak?
Apakah Wujud serupa itu berketerbatasan atau tidak? kemudian dibuktikan dengan burhan
bahwa keterbatasan.
Al-Farabi
ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles
dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai sebab
pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi
mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang
ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga.
Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya,
esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna
selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan
timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah
yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi
Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya,
tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul
(processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib
al-Wujud.
3.
Filsafat ke-Nabian
Filsafat
ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang
dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia
seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan
kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam
agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan.
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu
Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah
adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri.
Allah berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ
الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat.”
Salah
satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai
jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk
berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini
disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis
oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat
karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.
Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya
tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa
terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan
dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan
larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak
ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan
tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang
hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan
srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang
Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat
dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran
dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab
dan Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci,
lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku
Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.
Pendapat
yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan
al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah
Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal,
dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang
mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan
perbuatan ini dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada
dijelaskan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
”Kitab
(Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.” (Q.S.
al-Baqarah: 2-3)
Nabi
adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu
”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang
kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan
kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari
Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi
adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui
akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup
menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.”
Pendapat
al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh
karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan
tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu
(al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang
menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah
kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama
berasal dari akal Mustafad.
Kalau
dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk
berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun
tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah
sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di
buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari
Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi
para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang
mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa
berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika
tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia
yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa
berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan
di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari
hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan.
Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin
sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan
dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi
kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi
meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof
melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.
Dalam
sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang
termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah
menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui
pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi
nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab
selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka
tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan
lain, nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya,
melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan;
seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada
kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima
perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui
imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua,
apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan
renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa
dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab),
sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang
berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang
melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan
dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang
diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya
perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh,
sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat
yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang
Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh
jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah
(mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak
jelas-jelas mengatakan demikian.
Ketiga,
kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas,
maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis
terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril
turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh
Nabi seperti bunyi lonceng.
Inilah
teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan
persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah kesimpulan
bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa
untuk memimpin sebuah negeri.
4.
Filsafat Politik
Al-Farabi,
selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia juga menyibukkan
dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan dengan kata lain ia ikut
berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya dengan para filosof muslim
lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang baik, maka para filosof berusaha
menuangkan pikirannya, dan terkadang pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai
politik semata.
Dalam
persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada
filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk
bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala
kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun
tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan
pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan
memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi
juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti.
Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi
mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
1. Masyarakat
Sempurna (al-Mujtami’ al-Kamilah).
Masyarakat
sempurna adalah masyarakat yang mengandung keseimbangan di antara
unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau unsur-unsur masyarakat itu mempunyai
kebebasan individual yang lebih besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya
itu lebih dikuasai dan diperintah oleh pusatanya. Selanjutnya, masyarakat yang
sempurna, diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna
besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu
serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa), kedua masyarakat
sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu bangsa yang menghuni di
satu wilayah dari bumi biasa disebut negara nasional), ketiga masyarakat
sempurna kecil (masyarakat yang terdiri atas para penghuni satu kota (negara
kota).
2. Masyarakat
Tidak/belum Sempurna (al-Mujatami’ laisa Kamilah).
Masyarakat yang
tidak/belum sempurna adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti
masyarakat yang penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun,
dan keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari ketidak
sempurnaan adalah keluarga.
Menurut
al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang pertama, yaitu
masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang mana jumlah keseluruhan
bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan seperti satu anggota tubuh
manusia yang lengkap. Jika salah satu organ tubuh sakit, maka tubuh yang lain
akan merasakannya. Demikian pula anggota masyarakat Negara yang Utama, yang
terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu
atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus
diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama
dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi kepala
Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia.
Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah
fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan,
berani, kuat, cerdas, pecinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal
mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan
penyampai Wahyu.
Menurut
al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang tidak
sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat seorang kepala dan sejumlah
warga yang martabatnya mendekati martabat kepala, dan masing-masing memiliki
bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan
Kepala Negara (sebagai sebuah jabatan). Kemudian dari Kepala Negara,
membagi tugasnya kepada sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian
di bawah peringkat tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab
untuk kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.
Meskipun begitu,
al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam satu pemerintahan, bukan berarti
pemikiran filsafat yang ia kemukakan ini bersifat khayalan semata. Perlu
dipahami bahwa seorang filosof belum akan merasa puas dalam membicarakan
sesuatu sebelum sampai pada hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama
halnya dengan filsafat pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat
atau teori untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup
dalam satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas
dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat pemerintahan
al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
Al-Farbi juga
berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara adalah Nabi/Rasul atau
filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap
anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara
yang ideal inilah pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki
sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal.
Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang, tetapi
terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan kepada mereka
dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin masyarakat.
Maka dari itu,
Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat karena pertumbuhan dan
perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan
Negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan
dan perkembangan yang teratur di Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak
macamnya, misalnya Negera yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang
sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh,
ia membagi menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera
yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu Negara
yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, Negeri Gila
Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja.
Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu Negara yang penduduknya
mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, Negeri Anarkis (jami’iah),
yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan
masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah
al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t
A Qadir, C. Philosophy and Science in
Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam
Islam Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991
Al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman alih
bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan Jakarta : Bulan Bintang, 1966, Jilid I
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi
Filsafat, Jakarta: KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005
Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual
Islam Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta : Paramadina, 2000
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual
Nurcholish Islam Jakarta : Bulan Bintang,1984
Madkur, Ibrahim, Fi Falsafat al-Islamiyah
wa Manhaj wa Tatbiquh, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1968
Mustofa, A. Filsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan
Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
---------------------, Akal dan
Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam,
Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat
Islam, Cet. Ke-1, Bandung: Rosdakarya, 1988
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata
Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UI Perss, 1993
Yazdi, Mehdi Hairi, ThePrinciples of
Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by Presence, terj. Ahsin
Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam
Bandung : Mizan, 1994
Referensi:
bagus sekali kak infonya makasih
ReplyDeletept media indonesia