Setiap manusia pasti
pernah mengalami sakit. Dan ketika sakit, kita pasti akan datang ke klinik atau
ke rumah sakit untuk menemui dokter. Ketemunya bukan ketemu untuk ngegosip,
tapi ketemu untuk berobat. Tapi, pernah gak sih
kamu bertanya-tanya tentang siapa dokter pertama di dunia?
Dokter pertama di dunia
adalah salah satu tokoh "cendikiawan muslim". Dia bernama Syeikhur
Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, dikenal dengan
sebutan Ibnu Sina atau dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol avenSina).
Dia adalah seorang Persia, fisikawan, filosofis, dan ilmuwan yang lahir pada
tahun 980 Masehi atau tahun 370 hijriyah di Afsyahnah daerah dekat
Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia). Kemasyhurannya di dunia
Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga mereka
memberinya gelar “the Prince of the Physicians”.
Keluarga Ibnu Sina kebanyakan bekerja dengan mengabdi pada
negara. Ayahnya bekerja di pemerintahan, selain itu juga sebagai pendidik.
Ibnu Sina beruntung lahir di
keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Sejak kecil sang ayah
mengajarinya untuk cinta ilmu. Oleh sang ayah, Ibnu Sina diajari Qur’an dan
Sastra. Seorang guru pun didatangkan khusus untuk mengajari Ibnu Sina menghafal
Al Qur’an. Di usia 5 tahun, Ibnu Sina telah berhasil menghafal Al Qur’an.
Ibnu Sina belajar filsafat dari Abu Abdillah an-Natili,
seorang filosof kenamaan yang kebetulan sedang berkunjung ke Bukhara. Beliau
diminta ayah Ibnu Sina tinggal di kediamannya untuk mengajarkan filsafat pada
anaknya. Dalam waktu yang singkat Ibnu Sina berhasil menguasai filsafat
sehingga membuat kagum gurunya.
Tetapi sebelum itu, Ibnu Sina sudah tekun mempelajari ilmu
fiqih dari seorang ulama besar bernama Ismail yang tinggal di luar kota
Bukhara. Dengan semangat yang tinggi, Ibnu Sina tidak keberatan harus
bolak-balik ke rumah gurunya. Kecerdasan Ibnu Sina semakin terlihat saat beliau
berusia 16 tahun. Ia sudah sanggup menerangkan kembali pada gurunya isi dari
buku Isagoge (ilmu logika), buku al-Mages (ilmu astronomi kuno) dan buku
Ecludis (ilmu arsitektur).
Beliau memang benar-benar murid yang cerdas. Di depan
guru-gurunya, ia dapat menerangkan rumus-rumus dan berbagai kesulitan yang
terdapat dalam buku-buku tersebut. Bahkan konon dalam bidang ilmu astronomi
(perbintangan), beliau sudah sanggup menciptakan sebuah alat yang belum pernah
dibuat para ahli sebelumnya.
Setelah berhasil mendalami ilmu-ilmu alam dan ketuhanan,
Ibnu Sina pun merasa tertarik untuk mempelajari ilmu kedokteran, berkat
ketekunan dan semangatnya yang tinggi dalam mempelajari ilmu tersebut, Ibnu
Sina sanggup mengobati orang-orang yang sakit.
Semakin lama nama Ibnu Sina semakin terkenal, bukan saja
disekitar Bukhara melainkan juga diberbagai pelosok wilayah. Orang-orang yang
tertarik di bidang kedokteran mulai mendatangi Ibnu Sina untuk menimba ilmu
darinya. Mereka juga mengadakan eksperimen-eksperimen mengenai berbagai cara
pengobatan dibawah pengawasan dan bimbingan Ibnu Sina.
Tetapi Ibnu Sina tidak mau menjadikan ilmunya alat untuk
mencari kekayaan dunia. Ia mau mengajar dan menolong orang-orang sakit ikhlas
karena Allah dan terdorong rasa kemanusiaannya. Ia merasa yakin bahwa apa yang
dilakukannya akan mendapat pahala di sisi Allah diakherat kelak. Ibnu Sina
menghabiskan waktunya untuk mengadakan penelitian-penelitian, menulis dan
membaca buku-buku yang bermanfaat bagi kemajuan berbagai ilmu.
Kepopulerannya sebagai
dokter bermula ketika beliau berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997),
salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada
masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.
Sebagai penghargaan,
sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, paling tidak untuk sementara
selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan
halus, sebagai gantinya beliau hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah
perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka, dari sanalah ilmunya
yang luas makin bertambah.
Ibnu Sina selain
terkenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama dan kedokteran, beliau juga
ahli dalam bidang matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika
dan filosofi. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina memperoleh predikat sebagai seorang
fisikawan. Tak hanya itu, beliau juga mendalami masalah-masalah fikih dan
menafsirkan ayat-ayat Alquran. Beliau banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran
untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.
Ketika Ibnu Sina
berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah kematian ayahnya, Ibnu Sina mulai
berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari ilmu yang baru. Tempat pertama yang
menjadi tujuannya setelah hari duka itu adalah Jurjan, sebuah kota di Timur
Tengah. Di sinilah beliau bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu
Raihan Al-Biruni. Beliau kemudian berguru kepada Al-Biruni.
Setelah itu Ibnu Sina
melanjutkan lagi perjalanannya untuk menuntut ilmu. Rayy dan Hamadan adalah
kota selanjutnya, sebuah kota dimana karyanya yang spektakular “Qanun fi Thib”
mulai ditulis. Di tempat ini pula Ibnu Sina banyak berjasa, terutama pada Raja
Hamadan. Seakan tak pernah lelah, beliau melanjutkan lagi pengembaraannya, kali
ini daerah Iran menjadi tujuannya. Di sepanjang jalan yang dilaluinya itu,
banyak lahir karya-karya besar yang memberikan manfaat besar pada dunia ilmu
kedokteran khususnya.
Tentu tak berlebihan
bila Ibnu Sina mendapat julukan Bapak Kedokteran Dunia, karena perkembangan
dunia kedokteran awal tidak bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Beliau
juga banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran. Dalam “Qanun
fi Thib” misalnya, beliau menulis ensiklopedia dengan jumlah jutaan item
tentang pengobatan dan obat-obatan. Beliau juga orang yang memperkenalkan
penyembuhan secara sistematis, dan ini dijadikan rujukan selama tujuh abad
lamanya.
Ibnu Sina pula yang
mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap untuk pertama
kalinya. Dan dari sana beliau berkesimpulan bahwa, setiap bagian tubuh manusia,
dari ujung rambut hingga ujung kaki kuku saling berhubungan.
Beliau adalah orang
yang pertama kali merumuskan, bahwa kesehatan fisik dan kesehatan jiwa berada
kaitan dan saling mendukung. Lebih khusus lagi, beliau mengenalkan dunia
kedokteran pada ilmu yang sekarang diberi nama patologi dan farmasi, yang
menjadi bagian penting dari ilmu kedokteran. Selain “The Canon of Medicine”,
ada satu lagi kitab karya Ibnu Sina yang tak kalah dahsyatnya, yaitu
“Asy-Syifa”.
Kitab itu berisikan
tentang cara-cara pengobatan sekaligus obatnya. Kitab ini di dunia ilmu
kedokteran menjadi semacam ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Dalam
bahasan latin, kitab ini di kenal dengan nama “Sanati”.
Dia adalah pengarang
dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan
pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “bapak
kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal
dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan
waktu.” Karya beliau yang paling terkenal adalah The Book of Healing dan The
Canon of Medicine, dikenal juga sebagai Qanun (judul lengkap: Al-Qanun fi At
Tibb),yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di
Timur. Buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat.
Pada hari-hari terakhirnya, Ibnu Sina mandi, bermunajat
mendekatkan diri pada Allah, menyumbangkan hartanya untuk fakir-miskin, membela
orang-orang yang tertindas, menolong orang yang lemah, memerdekakan budak, dan
tekun membaca Al-Qur’an, saking tekunnya beliau bisa menamatkannya tiap tiga
hari sekali.
Semua itu terus ia lakukan hingga ajal menjemput. Beliau
wafat di Hamadzan pada hari jum’at di bulan Ramadhan 428 H dalam usia 58 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di kota tersebut dan hingga sekarang masih ramai
dikunjungi orang dari berbagai penjuru dunia.
Referensi:
sangat suka baca disini nice info
ReplyDeleteElever Media Indonesia