Sunday, December 25, 2016

Sejarah Kota Cilegon



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7UW10vRDjK2Olixx1JAsT_MPqe9zrD4E_UkrDmrDljzM_lFEXCk91jx1yeFZeRMPT3rXEP5a2DT6t8lvOaALbCJ5AyvSIaxyS6YIDYVunjthsGWTsuKa8CnCv_ep4qp3JbpmEEq3e20w/s1600/Screenshot_2015-12-30-12-34-03.png 
Kota Cilegon adalah sebuah kota di provinsi Banten, Indonesia. Cilegon berada di ujung barat laut pulau jawa, di tepi Selat Sunda. Kota cilegon dikenal sebagai kota industri. Sebutan lain bagi kota cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara karena sekitar 6 juta ton baja dihasilkan setiap tahunnya di kawasan industry Krakatau Steel, Cilegon.
Kota Cilegon dikenal sebagai kota baja, ini setelah berdirinya PT Krakatau Steel (KS) sebagai sebuah perusahaan baja internasional sejak (1970). Namun, sebelumnya daerah di ujung barat Provinsi Banten ini lebih dikenal sebagai daerah rawa, nama Cilegon sendiri berasal dari kata “CI” yang berasal dari kata “CAI” yang artinya air. Dan “LEGON”  atau "MELEGON" yang berarti LENGKUNGAN (H.M.A. Tihami). CILEGON bisa diartikan sebagai kubangan air atau rawa-rawa.
Hal ini sesuai dengan banyaknya nama tempat di Cilegon yang menggunakan nama KUBANG. Seperti: Kubang Sepat, Kubang Lele, Kubang Welut, Kubang Welingi, Kubang Lampit, Kubang Lampung, Kubang Menyawak, Kubang Bale, Kubang Lesung, Kubang Lumbra, Kubang Kutu, Kubang Saron, Kubang Wates, Kubang Sari, dan yang lainnya.
Sepintas penyebutan kata LEGON mirip dengan kata "LAGUNA" atau "LAGOON" dalam bahasa Inggris yang berarti danau kecil atau tasik yg dikelilingi oleh karang atau pasir yg menutup pesisir atau muara sungai.
Cilegon pada Abad-16 merupakan sebuah kampung kecil yang dikelilingi rawa-rawa atau kubang-kubang yang berubah dan berkembang menjadi area persawahan dan pemukiman. Pernahkah kita mengetahui bahwasanya di daerah cilegon ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang sangat makmur. (mengutip dari sebuah buku Harian Banten, Jejak sejaran di tanah Banten). “sebuah literatur dari kerajaan china dan literature dari kerajaan india mengatakan bahwa sebelum terjadinya letusan maha dahsyat gunung Krakatau purba yang hingga pada akhirnya memisahkan sebuah daratan antara pulau jawa dengan pulau sematera pernah berdiri sebuah kerajaan yang sangat makmur bernama LIGION yang dipimpin oleh seorang raja yang bijak dimana kemakmuran dan kedamaian dirasakan oleh masyarakatnya hingga sampai terjadinya letusan maha dahsyat yang akhirnya mengubur kerajaan tersebut”. Namun didalam buku tersebut tidak diberi keterangan waktunya.

1.      Cilegon pada Masa Sultan Ageng Tirtayasa (Tahun 1651-1672)
Pada Tahun 1651 Cilegon merupakan kampung kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Banten pada masa Kerajaan Sultan Ageng Tirtayasa (Th. 1651-1672).
Pada masa itu wilayah Cilegon masih berupa tanah rawa yang belum banyak didiami orang. Namun sejak masa keemasan Kerajaan Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa dilakukan pembukaan daerah di Serang dan Cilegon yang dijadikan persawahan. Sejak saat itu banyak pendatang yang menetap di Cilegon sehingga masyarakat Cilegon sudah heterogen.
2.      Cilegon pada Masa Pembentukan Districh Cilegon (Kewedanaan Cilegon)
Sejak dibentuknya Districh Cilegon Tahun 1816, perkembangan Cilegon sangat pesat sehingga yang semula merupakan kampung kecil menjadi Kewedanaan. Kantor Districh Cilegon (Kewedanaan Cilegon) masih ada dan berdiri dengan kokoh sampai sekarang.
3.      Cilegon pada Masa Pemberontakan Geger Cilegon
Pada Tanggal 9 Juli 1888 terjadi puncak perlawanan rakyat Cilegon kepada kolonial Belanda yang dipimpin oleh KH. Wasid yang dikenal dengan pemberontakan Geger Cilegon. Pemberontakan Geger Cilegon mengilhami perjuangan rakyat untuk membebaskan dari penindasan penjajah Belanda dan melepaskan diri dari kelaparan akibat tanam paksa pada masa itu.
Perlawanan yang dikobarkan Ki Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon dilatarbelakangi kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan Belanda di Banten. Kebencian masyarakat makin memuncak saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) yang menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.
Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan adzan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan ksrena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.
Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan adzan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.
Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus Ismail dan KH. Wasyid dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.
Ki Wasyid yang selanjutnya pemimpin pemberontakan melakukan perang gerilya hingga ke ujung kulon, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.
4.      Cilegon pada Masa Tahun 1924
Pada Tahun 1924, di Kewedanaan Cilegon talah ada perguruan pendidikan yang berbasis Islam yang menonjol yaitu Perguruan Al-Khaeriyah dan Madrasah Al-Jauharotunnakiyah Cibeber.
Perguruan Al-Khaeriyah dan Al-Jauharotunnakiyah Cibeber berkembang dengan pesat dan melahirkan tokoh-tokoh pendidikan yang berbasis Islam di Cilegon. Sampai dengan saat ini Perguruan Al Khaeriyah dan Madrasah Al-Jauharotunnakiyah Cibeber masih eksis yang berlokasi di Desa Citangkil dan Desa Cibeber.
5.      Cilegon pada Masa Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945
Seperti rakyat Indonesia lain, rakyat Cilegon pada masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia telah menunjukkan semangat juangnya. Hal ini terlepas diilhami semangat juang KH. Wasid pada masa pemberontakan Geger Cilegon.
Jiwa patriotisme rakyat Cilegon dan Banten pada umumnya di zaman revolusi fisik mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ditunjukkan terkenal dengan Tentara Banten.
6.      Cilegon Memasuki Era Tahun 1962
Sejak hadirnya Pabrik Baja TRIKORA pada Tahun 1962 di Cilegon merupakan babak baru bagi era industri di wilayah Cilegon. Perkembangan yang cepat industri baja TRIKORA tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 pada tanggal 31 Agustus 1970 berubah menjadi Pabrik Baja PT. Krakatau Steel Cilegon berikut anak perusahaannya.
Perkembangan industri yang pesat di Cilegon berdampak pula terhadap sektor lainnya seperti perdagangan, jasa dan jumlah penduduk yang terus meningkat. Mata pencaharian penduduk Cilegon yang semula sebagian besar adalah petani berubah menjadi buruh, pedagang dan lain sebagainya.
Kota Cilegon yang merupakan kota sedang yang memiliki potensi kota besar dengan segala fasilitas sarana dan prasarana perhubungan laut antara lain adanya pelabuhan penyeberangan (Ferry), Pelabuhan Umum, Pelabuhan Khusus.
7.      Perubahan Kewedanaan Cilegon menjadi Kota Administratif Cilegon Tahun 1987
Kewedanaan Cilegon wilayahnya meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Cilegon, Kecamatan Bojonegara dan Kecamatan Pulomerak.
Dengan perkembangan pembangunan yang sangat cepat terutama dengan adanya sentra industri baja PT. Krakatau Steel beserta seluruh anak perusahaannya diikuti hadirnya pabrik-pabrik seperti PLTU Suralaya, PT. Chandra Asri dan lain-lain telah mempengaruhi kondisi budaya dan penggunaan lahan dari daerah persawahan dan peladangan menjadi daerah industri, perdagangan, jasa dan perumahan serta pariwisata. Sejalan dengan pertumbuhan Kota Cilegon yang cepat itu, maka dibutuhkan pelayanan umum yang lebih cepat, terarah dan sesuai dengan tuntutan kehidupan masyarakat kota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1986 tanggal 17 September 1986 Kewedanaan Cilegon menjadi Kota Administratif Cilegon dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Juli 1987, meliputi 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Cilegon, Pulomerak, dan Ciwandan serta dirangkaikan dengan pelantikan Walikotatif oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1992 pada tanggal 11 Januari 1992 Kecamatan Cilegon dimekarkan menjadi Kecamatan Cilegon dan Cibeber. Sehingga Kota Administratif Cilegon meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu Cilegon, Cibeber, Pulomerak dan Ciwandan.
8.      Cilegon Menjadi Kotamadya Tahun 1999
Kota Administratif Cilegon yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Serang dalam perkembangannya tumbuh sebagai kota industri bagi wilayah barat bagian Jawa Barat. Di Kota Cilegon saat ini terdapat industri berat dan menengah dalam kapasitas regional dan nasional. Kota Cilegon juga merupakan jalur lalu lintas penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera dengan pelabuhan penyeberangan Merak. Kesemuanya ini menjadikan Kota Cilegon fungsinya semakin berkembang, disamping sebagai kota industri juga sebagai kota transito, perdagangan dan jasa.
Melihat kedudukan Kota Cilegon sangat strategis ditinjau dari segi politik, sosial budaya serta pertahanan keamanan, maka untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, Kota Administratif Cilegon dibentuk menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 (Lembaran Negara 3828) tanggal 20 April 1999 yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 27 April 1999 dan dirangkaikan dengan pengangkatan penjabat Walikotamadya Daerah Tingkat II Cilegon yakni H. Tb. Riva’i Halir.
9.      Menjadi Kota Cilegon
https://www.bantennews.co.id/wp-content/uploads/2016/03/landmark-cilegon.jpg 
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), maka penyebutan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon berubah menjadi Kota Cilegon.
Pada tanggal 4 September 1999 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cilegon diresmikan, yang keanggotaanya berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 , dengan Ketua DPRD Kota Cilegon H. Zaidan Riva’i.
Pada tanggal 28 Februari 2000 dilakukan pemilihan Walikota definitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Cilegon secara demokrasi dan terpilih menjadi Walikota pertama Kota Cilegon adalah H. Tb. Aat Syafa’at dengan didampingi oleh Wakil Walikota Cilegon yaitu H. Djoko Munandar. Atas nama Menteri Dalam Negeri, maka Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana melantik secara resmi Walikota Cilegon pada tanggal 7 April 2000.
Dalam perjalanannya, Wakil Walikota Cilegon, Dr. Djoko Munandar, M.Eng mencalonkan diri menjadi Gubernur Banten, dan terpilih menjadi Gubernur Banten. Dengan demikian, jabatan Wakil Walikota Cilegon menjadi kosong.
Peluang yang diberikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah semakin memberikan keleluasaan bagi Kota Cilegon untuk mewujudkan cita-cita masyarakat.
Pada tanggal 5 Juni 2005, masyarakat Kota Cilegon menggelar pesta demokrasi untuk memilih secara langsung Walikota dan Wakil Walikota. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah berjalan dengan aman, lancar dan terkendali. Pada tanggal 10 Juni 2005, KPUD Kota Cilegon menetapkan pasangan H. Tb. Aat Syafa’at, S.Sos, M.Si dan Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cilegon periode 2005 – 2010. Pada tanggal 20 Juli 2005, pasangan H. Tb. Aat Syafa’at, S.Sos, M.Si dan Drs. H. Rusli Ridwan, M.Si dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cilegon oleh Gubernur Banten Dr. H. Djoko Munandar, M.Eng atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia.



Referensi:

2 comments:

  1. Di 2013, Indonesia 'hanya' mampu menghasilkan 7,2 juta ton sementara kebutuhan baja nasional mencapai belasan juta ton. Padahal konsumsi baja per-kapita termasuk rendah dibandingkan negara berkembang. Artinya produksi kita saja masih belum mampu memenuhi kebutuhan kita yang relatif rendah. Tentunya ini harus menjadi perhatian kita. Jasa Penulis Artikel jual kardus bekas

    ReplyDelete