Sebuah
tasbih adalah sebuah kehidupan, berawal dan berakhir di titik yang sama. Bukan
tasbih namanya, jika hanya terdiri dari satu butir, bukan kehidupan namanya,
jika hanya satu dimensi. Kehidupan akan sempurna dan indah bila telah melewati
serangkaian untaian butiran suka, duka, derita, bahagia, gembira, gagal,
sukses, pasang dan surut. Untuk melewati semua itu dibutuhkan keberanian,
kesabaran, kekuatan dan perjuangan untuk teru meniti, berjalan, mendaki. Sebab
seperti tasbih yang melingkar, kehidupan pun demikian. Ke mana pun akan pergi
dan berlari, tetap masih dalam lingkaran takdir Allah. Dari-Nya kehidupan
dimulai dan kepada-Nya akan berakhir.
Mungkin
itulah yang kemudian tasbih identik dengan dzikir, mengingat Allah. Tasbih
menjadi tanda kesalehan, kedekatan hamba dengan Allah. Namun, sebenarnya tasbih
juga penanda perjuangan dan semangat gambaran sebuah kehidupan sejati.
Begitu
juga cinta, akal manusia terlalu picik jika mengira tasbih hanya cocok untuk
mereka yang dekat dengan maut. Dalam kehidupan di dunia yang sesungguhnya,
tasbih adalah wakil jiwa yang selalu bergerak, tidak pernah berhenti, pantang
menyerah tidak mengenal putus asa, untuk meraih yang lebih tinggi, bahwa hidup
adalah karunia paling berharga untuk makhluk bernama manusia. Maka, jangan
pernah mengharap cinta bila engkau tidak memiliki keberanian, jangan memeluk
cinta bila takut gagal karena, akan sakit hati. Semua itu adalah paket yang
akan ditemukan oleh siapa pun dalam meraih cinta.
Cinta
…bisakah kita memahami cinta lewat sebuah benda, tasbih???
Mengapa
tidak? Cinta adalah sisi lain yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Tasbih
adalah keutuhan yang diikat pada sebuah simpul. Hal itu dilakukan agar
butiran-butiran kecil dapat menyatu, saling bertautan, seimbang, dan bila
dilihat tampak indah. Cinta juga akan menjadi indah jika diterima sebagai
sebuah keutuhan. Mencintai adalah aktivitas berat yang membutuhkan keberanian
untuk menerima yang dicintai dengan utuh. Sisi kelebihan sudah pasti mudah
menerimanya, tapi, bagaimana sisi lainnya yang pasti ada kekurangan, kelemahan.
Semudah itukah menerima?
Agar
cinta juga menjadi abadi dan kuat, dibutuhkan kesediaan dua ujungnya untuk
diikat dalam satu simpul yang kokoh. Tanpa ikatan, tanpa simpul, cinta akan
terburai menjadi butir-butir egoisme yang tercerai berai. Bila demikian,
bisakah cinta dipandang sebagai sebuah keindahan? Bahkan apakah bisa disebut
cinta, bila untuk saling berdekatan hati saja, sudah tidak mampu?
No comments:
Post a Comment