Wednesday, December 28, 2016

Filosofi Lilin

Lilin, ketika dirinya sendiri meleleh habis terbakar setelah memancarkan cahaya menerangi kegelapan, sesungguhnya apa yang terjadi bukanlah suatu kehancuran. Melelehnya lilin itu pada hakikatnya adalah simbolisasi penyatuan jatidiri dengan pancaran cahaya yang keluar dari api yang membakar dirinya sendiri, itulah yang disebut sebagai puncak dari suatu hikmat pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Hanya mereka yang mau berkorban dengan tulus tanpa pamrih seperti lilin yang akan berhasil mencapai puncak kesadaran kosmik (pencerahan), suatu konsepsi kesadaran yang dibutuhkan sebagai tiket menuju puncak kebahagiaan yang dicita-citakan oleh semua ummat manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Manusia dalam kondisi kesadaran seperti inilah yang tercerahkan dan mampu mencerahkan kehidupan. Menjadi pemimpin yang adil, pejabat yang taat hukum dan tidak korupsi, ayah yang bijak, ibu yang penuh cinta dan kasih, anak yang sholeh dan hormat pada orang tua, murid yang santun, dan seterusnya. Belajarlah hidup seperti lilin, menerangi kegelapan dan berkorban dengan tulus tanpa pamrih. 
Lilin hanyalah sesuatu yang sederhana, tetapi mampu memberi cahaya. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa ia akan menyinari sekitarnya ketika dalam  kegelapan. Untuk itu, ia harus terbakar, meleleh, habis. Sayang, kemampuannya terbatas pada suatu sudut saja, bercahaya pada titik tertentu. Namun, ketika ada sekumpulan lilin, maka suatu tempat akan bersinar. Ketika ada lebih banyak lilin, maka daratan akan berpijar.

Kita hanyalah manusia biasa, tetapi mampu membawa pencerahan. Kita memberi pemahaman kepada mereka yang masih belum mengerti, bukan menggarami lautan. Untuk itu, kita harus rela menanggung sakit, berjuang sampai habis. Satu orang mungkin mampu membawa perbaikan pada lingkungan tertentu. Namun, ketika sekelompok orang yang berusaha, perbaikan tersebut akan kian nyata. Ketika ada semakin banyak orang, maka perbaikan menjadi niscaya.

No comments:

Post a Comment