Lilin, ketika dirinya sendiri
meleleh habis terbakar setelah memancarkan cahaya menerangi kegelapan,
sesungguhnya apa yang terjadi bukanlah suatu kehancuran. Melelehnya
lilin itu pada hakikatnya adalah simbolisasi penyatuan jatidiri dengan pancaran
cahaya yang keluar dari api yang membakar dirinya sendiri, itulah yang disebut
sebagai puncak dari suatu hikmat pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Hanya
mereka yang mau berkorban dengan tulus tanpa pamrih seperti lilin yang
akan berhasil mencapai puncak kesadaran kosmik (pencerahan), suatu konsepsi
kesadaran yang dibutuhkan sebagai tiket menuju puncak kebahagiaan yang
dicita-citakan oleh semua ummat manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Manusia
dalam kondisi kesadaran seperti inilah yang tercerahkan dan mampu mencerahkan
kehidupan. Menjadi pemimpin yang adil, pejabat yang taat hukum dan tidak
korupsi, ayah yang bijak, ibu yang penuh cinta dan kasih, anak yang sholeh dan
hormat pada orang tua, murid yang santun, dan seterusnya. Belajarlah hidup
seperti lilin, menerangi kegelapan dan berkorban dengan tulus
tanpa pamrih.
Lilin hanyalah sesuatu yang sederhana, tetapi
mampu memberi cahaya. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa ia akan menyinari
sekitarnya ketika dalam kegelapan. Untuk itu, ia harus terbakar, meleleh,
habis. Sayang, kemampuannya terbatas pada suatu sudut saja, bercahaya pada
titik tertentu. Namun, ketika ada sekumpulan lilin, maka suatu tempat akan
bersinar. Ketika ada lebih banyak lilin, maka daratan akan berpijar.
Kita hanyalah manusia
biasa, tetapi mampu membawa pencerahan. Kita memberi pemahaman kepada mereka
yang masih belum mengerti, bukan menggarami lautan. Untuk itu, kita harus rela
menanggung sakit, berjuang sampai habis. Satu orang mungkin mampu membawa
perbaikan pada lingkungan tertentu. Namun, ketika sekelompok orang yang
berusaha, perbaikan tersebut akan kian nyata. Ketika ada semakin banyak orang,
maka perbaikan menjadi niscaya.
No comments:
Post a Comment