DEFINISI PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka
istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta
didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak
hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara
istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak.
Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak
hanya di sekolah (pendidikan formal), tetapi juga lembaga pendidikan di
masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.
Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan
Islam adalah Individu sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik,
psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akhirat. Definisi tersebut memiliki arti bahwa peserta didik merupakan individu
yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan
dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah
peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat
disekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu
agama.
Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan
“murid” atau “thalib”. Secara etimologi, murid berarti “orang yang
menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah “ pencari
hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid).
Sedangkan thalib menurut etimologi berarti “orang yang mencari”, sedang
menurut terminologi adalah “ penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras
menempah dirinya untuk mencapai derajat sufi”.
Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki
kedalaman makna dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan
itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu
pengetahuan. Hal ini menunjukkan istilah murid dan thalib menghendaki
adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar; bukan pada
pendidik.
PARADIGMA
PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat
peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami
hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa
hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah :
(1)
Peserta
didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode
belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
(2)
Peserta
didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal
mungkin. Kebutuhan individu menurut Maslow, yaitu :
§ Kebutuhan bersifat fisiologis
§ Kebutuhan akan rasa aman.
§ Kebutuhan cinta dan memiliki.
§ Kebutuhan penghargaan.
§ Kebutuhan aktualisasi diri.
(3)
Peserta
didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu lain, baik perbedaan
yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang
meliputi segi jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang
memengaruhinnya.
(4)
Peserta
didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia,
peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun
terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa,
karsa).
(5)
Peserta
didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan
dapat aktif, kreatif dan produktif.
(6)
Peserta
didik mengikuti periode-periode perkembangan serta tempo dan iramanya.
Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia
pada dasarnya dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu :
1)
Tahap
asuhan (usia 0-2 tahun) atau fase neonatus. Pada fase ini belum dapat
diterapkan interaksi edukasi dapat dilakukan dengan cara : (1) Memberi azan
ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri ketika baru lahir. (2) Memotong
aqiqah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan.
(3) Memberi nama yang baik. (4) Memberikan makan dan minum yang halal. (5)
Memberi ASI sampai usia 2 tahun.
2)
Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca
indra (usia 2-12 tahun), yang lazim disebut fase kanak-kanak (al-thifl/shabi)
yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa pubertas. Tujuan pendidikan fase ini
adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan psikologis, seperti pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani.
3)
Tahap
pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-20 tahun) atau fase tamyiz, yaitu
fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Diusia ini
anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban
tanggung jawab.
4)
Tahap
kematangan (usia 20-30 tahun), anak telah beranjak menjadi dewasa, mencakup
kedewasaan biologis, sosial, psikologi dan kedewasaan religius.
5)
Tahap
kebijaksanaan (usia 30-meninggal) disebut fase azm al-‘umr (lanjut usia)
atau syuyukh (tua). Pada tahap ini manusia telah menemukan jati dirinya
yang hakiki, sehingga tindakanya penuh dengan kebijaksanaan.
SIFAT-SIFAT
DAN KODE ETIK PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang
harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,
merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu :
1.
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah Swt. dalam QS.
al-An’am :162.
2.
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi dalam QS.
adh-Dhuha: 4.
3.
Bersikap
tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidikan.
4.
Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu ompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5.
Mempelajari
ilmu yang terpuji.
6.
Belajar
dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai dari yang termudah.
7.
Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lain.
8.
Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9.
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.
Mengenal
ilmu yang berpragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat
dapat membahagiakan.
11.
Peserta
didik harus tunduk pada nasihat pendidik.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam
macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan
pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya :
اَلاَلاَ
تَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ . سَاُ نْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْ عِهَا بِبَيَا
نٍ . ذُكَاءٍ وَحِرْ صٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ . وَاِرْشَادِ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ
الزَّمَانِ
“ Ingatlah! Engau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena
enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu : kecerdasan,
hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa
yang panjang (continue).”
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu
adalah mencakup enam hal, yaitu :
(1)
Kecerdasan
(dzaka’) ; yaitu penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan dan daya
penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat.
Jenis-jenis kecerdasan meliputi: (1) kecerdasan intelektual (2) kecerdasan
emosional, (3) kecerdasan moral (4) kecerdasan spiritual (5) kecerdasan qalbiyah
atau ruhaniyah.
(2)
Memiliki
hasrat (hirsh) ; yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi
dalam mencari ilmu. Motivasi (Motivation) ; yaitu dorongan, keinginan,
kebutuhan dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku dalam pendidikan.
(3)
Sabar
adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu
menghindarkan seseorang dari perasaan cemas, marah dan kekacauan. Sabar menjadi
kunci bagi keberhasilan dalam belajar, karena sabar merupakan inti dari
kecerdasan emosional.
(4)
Mempunyai
seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam
hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untu
kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan sekolah, dan biaya
pengembangan pendidikan secara luas.
(5)
Adanya
petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah
pengertian terhadap apa yang dipelajari.
(6)
Masa
yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari
ilmu sampai pada akhir hayat.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, Hadari
, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, Jakarta : Haji Masagung,
1985
Mujib Abdul, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
No comments:
Post a Comment