Thursday, December 29, 2016

Peserta Didik dalam Pendidikan Islam



DEFINISI PESERTA DIDIK  DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tetapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.
Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah Individu sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat. Definisi tersebut memiliki arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat disekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.
Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan “murid” atau “thalib”. Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah “ pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib menurut etimologi berarti “orang yang mencari”, sedang menurut terminologi adalah “ penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempah dirinya untuk mencapai derajat sufi”.
Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan istilah murid dan thalib menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar; bukan pada pendidik.
PARADIGMA PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik  harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah :
(1)   Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa.
(2)   Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu menurut Maslow, yaitu :
§  Kebutuhan bersifat fisiologis
§  Kebutuhan akan rasa aman.
§  Kebutuhan cinta dan memiliki.
§  Kebutuhan penghargaan.
§  Kebutuhan aktualisasi diri.
(3)   Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang memengaruhinnya.
(4)   Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, karsa).
(5)   Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif dan produktif.
(6)   Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan serta tempo dan iramanya.
Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dapat dibagi menjadi lima tahapan, yaitu :
1)      Tahap asuhan (usia 0-2 tahun) atau fase neonatus. Pada fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukasi dapat dilakukan dengan cara : (1) Memberi azan ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri ketika baru lahir. (2) Memotong aqiqah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan. (3) Memberi nama yang baik. (4) Memberikan makan dan minum yang halal. (5) Memberi ASI sampai usia 2 tahun.
2)        Tahap pendidikan jasmani dan pelatihan panca indra (usia 2-12 tahun), yang lazim disebut fase kanak-kanak (al-thifl/shabi) yaitu mulai masa neonatus sampai pada masa pubertas. Tujuan pendidikan fase ini adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan psikologis, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.
3)      Tahap pembentukan watak dan pendidikan agama (usia 12-20 tahun) atau fase tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Diusia ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya, sehingga ia diberi beban tanggung jawab.
4)      Tahap kematangan (usia 20-30 tahun), anak telah beranjak menjadi dewasa, mencakup kedewasaan biologis, sosial, psikologi dan kedewasaan religius.
5)      Tahap kebijaksanaan (usia 30-meninggal) disebut fase azm al-‘umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua). Pada tahap ini manusia telah menemukan jati dirinya yang hakiki, sehingga tindakanya penuh dengan kebijaksanaan.

SIFAT-SIFAT DAN KODE ETIK PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu :
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah Swt. dalam QS. al-An’am :162.
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi dalam QS. adh-Dhuha: 4.
3.      Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikan.
4.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu ompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5.      Mempelajari ilmu yang terpuji.
6.      Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai dari yang termudah.
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lain.
8.      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9.      Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10.  Mengenal ilmu yang berpragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan.
11.  Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik.

Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya :
اَلاَلاَ تَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ . سَاُ نْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْ عِهَا بِبَيَا نٍ . ذُكَاءٍ وَحِرْ صٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ . وَاِرْشَادِ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ الزَّمَانِ
“ Ingatlah! Engau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu : kecerdasan, hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (continue).”
Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam hal, yaitu :
(1)   Kecerdasan (dzaka’) ; yaitu penalaran, imajinasi, wawasan, pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Jenis-jenis kecerdasan meliputi: (1) kecerdasan intelektual (2) kecerdasan emosional, (3) kecerdasan moral (4) kecerdasan spiritual (5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah.
(2)   Memiliki hasrat (hirsh) ; yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu. Motivasi (Motivation) ; yaitu dorongan, keinginan, kebutuhan dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku dalam pendidikan.
(3)   Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menghindarkan seseorang dari perasaan cemas, marah dan kekacauan. Sabar menjadi kunci bagi keberhasilan dalam belajar, karena sabar merupakan inti dari kecerdasan emosional.
(4)   Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untu kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas.
(5)   Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang dipelajari.
(6)   Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu sampai pada akhir hayat.
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, Hadari , Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, Jakarta : Haji Masagung, 1985
 Mujib Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.

No comments:

Post a Comment