Al-Kindi memiliki nama lengkap, yaitu Abu Yusuf Ya’qub bin
Ishaq al-Kindi. Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi
merupakan seorang bangsawan., gelar al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah
di wilayah Arabia Selatan.Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa
pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809). Al-Kindi adalah
filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan
atau karya-karya para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus, Sayangnya
ada sebuah karya Plotinus yang di terjemahkannya sebagai karangan Aristoteles
dan berjudul ”Teologi menurut Aristoteles”, sehingga di kemudian hari ada
sedikit kebingungan. Al-Kindi banyak berperan terutama pada abad pertengahan di
masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk
mengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833),
al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil
(847-861). Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat
itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam disiplin ilmu
pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan
sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga
menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan
astronomi. Al-Kindi berhasil mengubah sekaligus mengembangkan beberapa istilah
yang menarik perhatian para filosof sesudahnya, seperti: kata al-jirm menjadi
al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi) menjadi at-takhayyul; kata at-thīnah
menjadi al-māddah; dan sebagainya.
Ketika khalifah al-Mutawakkil memerintah, mazhab resmi
negara (yang sebelumnya menganut mazhab/aliran Mu’tazilah) diganti menjadi
Asy’ariyah. Dua orang putra Ibnu Syakir, Muhammad dan Ahmad, mencoba menghasut
al-Mutawakkil dengan mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat cenderung
kurang hormat pada agama. Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan agar al-Kindi
didera dan perpustakaannya yang bernama Kindiyyah disita (meski kemudian
dikembalikan). Al-Kindi meninggal pada tahun 866 M/252 H.
Menurut al-Kindi, agama dan filsafat tidak mungkin
bertentangan. Agama di samping sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan
filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama (al-Haqq al-Awwal) adalah
Tuhan. Dalam hal ini, filsafat juga membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat
paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan (seperti filsafat skolastik). Bagi
al-Kindi, orang yang menolak filsafat bisa dianggap kafir, karena dia telah
jauh dari kebenaran, meskipun dirinya menganggap paling benar.
Apabila terjadi pertentangan antara nalar logika dengan
dalil-dalil agama dalam al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl yaitu
interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks keagamaan.
Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahasa Arab), terdapat dua makna: makna
hakiki (hakikat, esensi) dan makna majasi (figuratif, metafora). Namun demikian,
menurut Al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber data atau
informasi antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu tanpa proses
belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar antara lain berpikir
dan berkontemplasi. Sedangkan dari segi pendekatan dan metode, agama dilakukan
dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan pendekatan logika.
Al-Kindi juga menyinggung soal jiwa manusia. Menurutnya,
jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan.
Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan
bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi
berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut
Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah
asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa
berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak
akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah
bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam
kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya
Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika
ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars,
dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam
akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah
cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh)
manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia
yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi,
akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya. Al-Kindi
juga mengungkapkan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan
manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan
pada dirinya. Bukanlah sesuatu yang alami. Al-Kindi berkata, “Orang yang
bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang
dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti
bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang
yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan
bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya
dan tidak alami.”
Ini berarti kesedihan merupakan sikap mental kita menghadapi
kondisi lingkungan. Banyak orang yang dirundung kemiskinan tapi hatinya
bahagia, sedangkan orang kaya hatinya belum tentu bahagia. Karena kekayaan
materi belum tentu membahagiakan ruhani. Ini misalnya dapat kita saksikan
orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat
betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan
tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pernah bersedih
hati sama sekali.Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang
didambakan manusia, yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati.
Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi.
Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap
terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih, dan mengamati sebab-sebab
yang melatarbelakanginya akan terlihat olehnya bahwa musibah tertentu tidak
hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan.
Demikian juga kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruknya dengan
penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami seperti
penyakit fisik.Kesadaran akan pentingnya nilai spiritual dibandingkan material
ini tumbuh seiring dengan pertumbuhan alamiah jiwa yang dimulai di dalam rahim,
ketika Allah meniupkan ruh-Nya sendiri ke dalam tubuh. Ruh ini,
yang turun melalui alam Alastu, merupakan cahaya yang murni dan
hidup, sedangkan tubuh adalah tanah gelap dan mati. Penyatuan ruh dan raga
membangkitkan daya jiwa, yang mencakup dua dunia, spiritual dan material. Jiwa
adalah perantara yang melaluinya ruh yang murni dan transenden dihubungkan
dengan raga yang fana. Ia adalah jumlah keseluruhan kehidupan dan kesadaran
yang muncul pada pertemuan cahaya dan jasad. Hanya jiwa yang lebur ke dalam
dunia, namun secara batin terbuka bagi Yang Tak terbatas.Terbukanya jiwa pada
Yang Tak Terbatas akan menumbuhkan sebuah kesadaran spiritual. Kesadaran inilah
yang menjadikan manusia mempunyai sikap bijaksana, tidak dengki, kesadaran
kemanusiaan dan berorientasi pada yang kekal dan rohani. Dengan kesadaran
seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang
kekal.
Al-kindi juga mengalami kemajuan pikiran islam dan terjemah
buku-buku asing kedalam bahasa arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam
ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan
agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh golangan Mu’tazilah serta
ajaran-ajaran Syi’ah. Karangan-karangan Al-kindi yang terkenal diketemukakan oleh
seorang ahli ketimuran Jerman,yaitu Hillmuth Ritter, di perpustakan Aya Sofia,
Istanbul, dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah ini membicarakan
soal-soal alam dan filsafat. Antara lain keesaan tuhan, akal, jiwa, filsafat
pertama. Risalah-risalah tersebut sudah di terbitkan di mesir oleh M.Abdul-Hadi
Aburaidah.
Unsur-unsur filsafat pada
pemikiran al-kindi ialah:
Aliran Pythagoras tentang matemaika sebagai jalan kearah
filsafat, Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika
meskipun al-kindi tidak sepakat dengan Aristoeles tentang qadimnya alam, pikiran-pikiran
Plato dalam soal kejiwaan, pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama
dalam soal etika, wahyu dan iman (ajaran –ajaran agama) dalam soal-soal yang
berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, aliran
Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalm menakwilkan ayat-ayat
Quran.
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam,
bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, Ia unik. Ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan
semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah
tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki
kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah
adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq
al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat
al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya
mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang
teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi
pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah
Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah
penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah
penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu
hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas
dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat
Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek
utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one),
yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the
True One ini.
Pertama-tama al-Kindī menjelaskan
bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan,
benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang
jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya
adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal).
Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni
hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah,
karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga
tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk
genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia
Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis
predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah
satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu
spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah
salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian
tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk
integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang
lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral
tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang
multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda
dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa
dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu
semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan
hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang
dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas
meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah,
tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu
pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh
wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih
terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari
penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif,
yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti
manusia.
Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan
bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari
materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab.
Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah).
Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan
Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah
emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang
partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.
Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini
dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan
adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis
(agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan
teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam
menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut
disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
Proses keberadaan antara wujud alam atas dan
alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti
akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah
manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud
spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq),
akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui
proses penciptaan.
Namun, analisis secara umum al-Kindī tetap
dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep
Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia
berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia mempunyai
permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan
menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari
sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.
Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab
Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah
dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa
setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan.
Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises,
diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan
bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas,
meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal.
Hanya Allah-lah yang kekal.
Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas
oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan
Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles
adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan
bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat
baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.
Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda
dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh
al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan
yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara
matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di
dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan
unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik,
waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam
keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan
pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian.
Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan
tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan,
yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan
jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah
bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah
kuantitas.
Referensi:
Muhammad Lutffi Jum’ah, Tarikh
Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)
Peter F.E,Aristotle and The
Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New York University
Press, 1968)
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003)
Thomas F Wall, Thinking About
Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United States)
Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003), p.210
Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009),
p.56
Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), p.
213
Lihat Hamid Fahmi
Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, p.40 dalam
Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
Baca al-Kindi A Muslim
Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First
Pubished, 2006
Baca Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bandung: Mizan,2003)
Lihat Hamid Fahmi
Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, dalam
Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 dan baca MM Syarif (ed), Para
Filosof Muslim, p. 215
Baca Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bandung: Mizan,2003), p. 219 dan MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p.
215
sangat bagus untuk dibaca makasih info infonya kak
ReplyDeleteapa itu performance