Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan kerja sama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang
disebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha disebut
dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai
dengan nisbah yang di sepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama.
Mudharabah
adalah akad yang telah dikenal oleh umat Muslim sejak zaman nabi, bahkan telah
di praktikan oleh bangsa Arab sebelum turunnya islam. akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, tinjauan
dari segi hukum islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut
Al-quran, Sunnah, maupun ijma.
Mudharabah berasal dari kata
dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini
lebih tepatnya adalah proses seseorang memukukan kakinya dalam menjalankan
usaha.
Secara teknis, mudhorobah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Ketika Nabi Muhammad Saw. berprofesi
sebagai pedagang, ia melakukan.
Dalam praktik mudharabah
antara Khadijah dengan nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya
untuk dijual oleh Nabi Muhammad Saw. keluar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah
berperan sebagai pemilik modal (shahib al-maal) sedangkan Nabi Muhammad
Saw. berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). Nah, bentuk
kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan
mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si
pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.
Atau singkatnya, akad mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari
salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain.
A. Rukun Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada
(rukun) dalam akad mudharabah adalah:
1. Pelaku ( pemilik modal maupun
pelaksana usaha)
Dalam akad mudharabah harus ada
minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib
al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib
atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharibah tidak
ada.
2. Objek (modal dan kerja)
Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai
objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai
objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang
yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa
berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skiil,
dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada.
3. Persetujuan kedua belah pihak
(ijab-qabul)
Persetujuan antara kedua belah pihak,
merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela).
Kedua belah pihak harus secara rela brsepakat untuk mengikatkan diri dalam akad
mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusi
dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan kerja.
4. Nisbah keuntungan
Rukun yang khas dalam akad mudharabah,
yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang
berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib
mendapatkan imbalan atas pekerjaanya, sedangkan shahib al-mal mendapat
imbalan atas penyertaan modalnya.
B. Nisbah Keuntungan
1.
Prosentase
Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai
nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungan ditentuka berdasarkan kesepakatan
bukan berdasarkan porsi setoran modal.
2.
Bagi Untung dan Bagi Rugi
Konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah
itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi. Bila laba bisnisnya
besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar. Bila laba bisnisnya kecil,
mereka mendapatkan bagian yang kecil juga.
3.
Jaminan
Ketentuan pembagian kerugian seperti diatas
itu hanya berlaku bila kerugian yang terjadi hanya murni diakibatkan oleh
resiko bisnis, bukan karena resiko karakter buruk mudharib.
4.
Menentukan Besarnya Nisbah
Besar nya nisbah ditentukan berdasarkan
kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak.
5.
Cara Menyelesaikan Kerugian
Jika terjadi kerugian, cara menyelesaikannya
adalah:
a. Diambil terlebih dahulu dari
keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal.
b. Bila kerugian melebihi keuntungan,
baru diambil dari pokok modal.
C. Landasan Syariah
Secara umum landasan dasar syariah al-mudharabah
lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam
ayat-ayat dan hadits berikut ini.
a. Al-Quran
“.... dan dari orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...” (al-Muzzammil:20)
Yang menjadi wajhud-dilalah atau
argumen dari surah al-Muzzammil:20 adalah adanya kata yadhribun yang
sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu
perjalanan usaha.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat”. (QS. Al-Baqarah:
198)
b. Al-Hadits
“diriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya
secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan,
menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan
tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. dan Rasulullah pun
membolehkannya. (HR. Tabrani)
“dari Shalih bin Shuhaib r.a.
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan:
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah no.2280,
kitab at-Tijarah)
c. Ijma
Imam Zailai telah menyatakan bahwa
para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim
secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit
hadits yang dikutip Abu Ubaid.
D. Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi
menjadi dua jenis: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
A. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah
adalah bentuk kerja sama antara shalibul maal dan mudharib yang
cakupannnya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali
dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul
maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah di
mana shalibul maal memberikan kebebasan kepada pengelola dana
(mudharib). Mudharabah muthlaqah dapat disebut dengan investasi dari
pemilik dana kepada bank syariah, dan bukan merupakan kewajiban atau ekuitas
bank syariah.
B. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga istilah resticted
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu,
dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan
umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
Mudharabah muqayyadah merupakan akad kerja sama usaha
antara dua pihak yang mana pihak pertama sebagai pemilik dana (shilabul maal)
dan pihak kedua sebagai pengelola dana (mudharib).
E. Incentive - Compatible Constraints
Bank syariah tidak dapat menyalurkan begitu
saja sejumlah dana kepada Mudharib atas dasar kepercayaan, karena selalu ada
risiko bahwa pembiayaan yang telah diberikan kepada mudharib tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya untuk memaksimalkan keuntungan kedua belah pihak. Begitu
dana di kelola oleh mudharib, maka akses informasi bank terhadap usaha mudharib
menjadi terbatas. Dengan demikian, terjadi assymmetric information dimana
mudharib mengetahui informasi-informasi yang tidak diketahui oleh bank.
Pada dasarnya, ada empat panduan umum bagi Incentive - Compatible Constraints,
yakni:
1. Menetapkan kovenan (syarat) agar
porsi modal dari pihak mudharibnya lebih besar atau mengenakan jaminan.
2. Menetapkan kovenan (syarat) agar
mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah.
3. Menetapkan kovenan (syarat) agar
mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. Menetapkan kovenan (syarat) agara
mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah.
F. Aplikasi dalam perbankan
Mudharabah
biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi
penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan
yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban,
dan sebagainya deposito biasa.
b. Deposito spesial (special
investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis
tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan
untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti
modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah
muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
Sejauh ini skema mudharabah yang telah
kita bahas adalah skema yang berlaku antara dua pihak saja secara langsung,
yakni shahib al-mal berhubungan langsung dengan mudharib. Skema ini adalah
skema standar yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab klasik fiqh Islam. Dan
inilah sesungguhnya praktik mudharabah yang dilakukan oleh nabi dan para
sahabat serta umat muslim sesudahnya. Biasanya hubungan antara shahib al-mal
dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh
rasa saling percaya (amanah).
Modus mudharabah
seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan
oleh bank, karena beberapa hal:
a. Sistem kerja pada bank adalah
investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali
sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung dan personal.
b. Banyak investasi sekarang ini
membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus
ribuan shahib al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang dana untuk satu proyek
tertentu.
c. Lemahnya disiplin terhadap ajaran
Islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan atas modal yang
disalurkannya.
G. Manfaat Mudharabah
a. Manfaat Mudharabah
1. Bank akan menikmati peningkatan
bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2. Bank tidak berkewajiban membayar
bagi hasil kepada nasabah perdanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan
pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative
spread.
3. Pengambilan pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow/ arus kas usaha sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4. Bank akan lebih selektif dan
hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan
menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah
yang akan dibagikan.
5. Prinsip bagi hasil dalam
al-mudharabah/al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank
akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis
ekonomi.
b. Resiko Mudharabah
Resiko yang terdapat dalam al-Mudharabah,
terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi. Diantarannya:
1. Side streaming, nasabah menggunakan dana itu
bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
2. Lalai dan kesalahan yang
disengaja.
3. Penyembunyian keuntungan oleh
nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Prenada Media.
Muhammad syafi’i antonio, Bank syariah dari Teori ke Praktik. Gema Insani
Press, Jakarta 2001.
Adimarwan
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. PT.Raja Grafindo
Persada,
Jakarta 2006. Ed.3. Cet.3
Komplikasi
Hukum Ekonomi Syariah.2009
Ed. Rev. Cet.1. Jakarta:kencana.
Kencana
media group
No comments:
Post a Comment