Di dapur, gula dan garam pasti
diletakkan berdampingan. Entah tanpa kita sadari, banyak dialog yang
menyegarkan dan tidak kasat oleh telinga.
Sejujunya, mungkin garam memiliki rasa
iri yang begitu dalam. Garam melihat gula selalu menarik semua lidah karena
manis yang telah menjadi cap resmi untuk gula. Apakah mungkin garam yang
berdiri di dapur pernah merasa dirinya lebih rendah dari pada gula?
Gula. Gula yang selalu kita tambahkan
pada secangkir teh manis. Tapi apakah di hadapan lidah gula semenarik yang
garam pikirkan? Seolah-olah lidah di sini berarti hakim.
Andaikan saja percakapan antara gula
dan garam ini terjadi,
Gula:
"Aku ingin menjadi Garam."
Garam:
"Kenapa? Aku tidak menarik lidah. Semua orang suka rasa manis pada dirimu.
Sedangkan aku tidak ada apa-apanya dibanding kamu."
Gula:
"Kau salah, Garam. Aku yang bukan apa-apa di sini."
Garam:
"Tapi Gula, aku selalu bermimpi untuk dilahirkan menjadi dirimu. Kau
manis, sedap di lidah. Kalau kau tidak percaya, lihat semua orang suka permen
karena manis dari dirimu."
Gula:
"Garam, kau punya kelebihan yang sangat istimewa. Orang akan berkata sayur
takkan sedap bila tanpa garam. Saat kemah, orang akan berbondong membelimu
dalam jumlah banyak untuk melindungi diri mereka dari ular. Ketika sakit gigi
menyerang, kau langsung dicari bahkan sebagai pertolongan pertama. Yah, kau tahu
berkumur dengan air garam."
Garam:
"Namun kau selalu ada pada kue lezat. Semua anak kecil suka padamu. Semua
orang suka rasa manis."
Gula:
"Tapi aku tak bisa melindungi dan menyembuhkan manusia seperti dirimu.
Bahkan kau dipilih sebagai pengawet alami untuk ikan."
Garam:
"Aku bingung mau berkata apa. Tapi aku memendam rasa iri padamu,
Gula..."
Gula dan Garam pun tak dapat melanjutkan
perdebatan mereka lagi. Keduanya berusaha memikirkan makna dari diri mereka
masing-masing.
No comments:
Post a Comment