Wednesday, December 28, 2016

Filosofi Gula dan Garam

Di dapur, gula dan garam pasti diletakkan berdampingan. Entah tanpa kita sadari, banyak dialog yang menyegarkan dan tidak kasat oleh telinga.
Sejujunya, mungkin garam memiliki rasa iri yang begitu dalam. Garam melihat gula selalu menarik semua lidah karena manis yang telah menjadi cap resmi untuk gula. Apakah mungkin garam yang berdiri di dapur pernah merasa dirinya lebih rendah dari pada gula?
Gula. Gula yang selalu kita tambahkan pada secangkir teh manis. Tapi apakah di hadapan lidah gula semenarik yang garam pikirkan? Seolah-olah lidah di sini berarti hakim.
Andaikan saja percakapan antara gula dan garam ini terjadi,
Gula: "Aku ingin menjadi Garam."
Garam: "Kenapa? Aku tidak menarik lidah. Semua orang suka rasa manis pada dirimu. Sedangkan aku tidak ada apa-apanya dibanding kamu."
Gula: "Kau salah, Garam. Aku yang bukan apa-apa di sini."
Garam: "Tapi Gula, aku selalu bermimpi untuk dilahirkan menjadi dirimu. Kau manis, sedap di lidah. Kalau kau tidak percaya, lihat semua orang suka permen karena manis dari dirimu."
Gula: "Garam, kau punya kelebihan yang sangat istimewa. Orang akan berkata sayur takkan sedap bila tanpa garam. Saat kemah, orang akan berbondong membelimu dalam jumlah banyak untuk melindungi diri mereka dari ular. Ketika sakit gigi menyerang, kau langsung dicari bahkan sebagai pertolongan pertama. Yah, kau tahu berkumur dengan air garam."
Garam: "Namun kau selalu ada pada kue lezat. Semua anak kecil suka padamu. Semua orang suka rasa manis."
Gula: "Tapi aku tak bisa melindungi dan menyembuhkan manusia seperti dirimu. Bahkan kau dipilih sebagai pengawet alami untuk ikan."
Garam: "Aku bingung mau berkata apa. Tapi aku memendam rasa iri padamu, Gula..."

Gula dan Garam pun tak dapat melanjutkan perdebatan mereka lagi. Keduanya berusaha memikirkan makna dari diri mereka masing-masing.



No comments:

Post a Comment