Aku sempat
membaca sebuah tulisan tentang Filosofi
Kertas. Tulisan itu bercerita mengenai betapapun kita berusaha keras meminta
maaf terhadap kertas yang sudah kita remas-remas dan tekuk sesuka hati, namun
alur yang terbentuk masih terlihat dan membekas disana. Alur yang terbentuk itu
bagaikan luka yang sudah kita tinggalkan disana. Sekuat apapun kita berusa
meminta maaf terhadap orang yang sudah kita lukai, namun rasa sakit itu akan
terus membekas di dalam hati orang yang kita lukai.
Ya kertas,
begitu banyak filosofi yang bisa kita petik dari sebuah kertas putih. Kertas
putih yang awalnya tanpa noda, ketika kita pertemukan dengan pena dan
menuliskan kata-kata yang indah, akan terlihat indah. Namun ketika kita
menuliskan kata-kata yang kasar akan terlihat kertas itu tanpa makna.
Jikalau
kita menuliskan kata-kata kasar, walaupun sebenarnya hanya untuk becanda, namun
ketika sang pena menuliskan dengan keras. Tulisan itu tidak akan terhapus
begitu saja, walaupun sudah kita hapus dengan berbagai cara. Namun bekasnya
masih ada di kertas tersebut. Terakhir yang ada kertasnya akan semakin kusam
dan kotor.
Atau ketika
kita menusukkan pena kita ke kertas, kemudian kita tarik pena kita. Apa yang
masih tertinggal disana? Ya, sebuah lubang besar dan terobeknya kertas
tersebut. Ketika kita mulai merekatkan kembali sobekan-sobekan kertas tersebut
dengan lem, yang kita dapatkan bukanlah kertas yang kembali utuh seperti
semula. Masih ada sobekkan kertas yang tak dapat kita rekatkan kembali.
Zaman
sekarang kertas mulai diabaikan, kalau dulunya kita bisa curhat dengan diary
kita menggunakan kertas. Kini kita bisa menuliskan keluh kesah kita dengan
menuliskannya di laptop, Ipad ataupun menuliskannya di jejaring sosial seperti
Twitter, FB, status BBM, Whatsup, YM, Skype dll. Berharap semua orang membaca
status kita dan mengomentarinya.
Dengan
semakin bebasnya kita menuliskan apa yang kita pikirkan, terkadang kita tak
memikirkan efeknya terhadap orang lain. Kata-kata makian, hinaan, perang
status, perang komentar bahkan sebuah cibiran, sampai masalah pribadi mulai
merambah ke area publik.
Hal tersebutlah yang membuatku merasa gerah dan bosan
terhadap jejaring sosial. Hanya sebuah twitter yang masih aku aktifkan
sebagai sarana mencari berita yang bagus-bagus, tidak untuk membaca status
keluh kesah orang.
Apakah tak
pernah terbayangkan oleh orang-orang itu, jika dia menuliskan cacian dan makian
di jejaring sosial tersebut bisa menyakiti orang? Memang sih bisa dihapus,
namun jika sudah terlanjur dibaca dan membekas di hati, kata-kata tersebut akan
tertanam di hati.
Seperti
yang pernah aku alami sebelumnya. Tulisan berupa email, message di YM, status
BBM, status FB, SMS bahkan perkataan yang pernah terucap dari seseorang
dan akibatnya membuatku kesal, sampai saat ini kata-kata tersebut masih
tertanam di dalam pikiran dan hatiku. Berkali-kali aku berusaha melupakannya,
namun terkadang ketika akal sehatku sedang tidak bekerja, kata-kata tersebut
selalu melintas begitu saja.
Ya sakit
hati akibat sebuah tulisan ataupun perkataan susah sembuhnya, seperti kertas
putih yang sudah terobek atau teremas oleh pena atau tangan kita.
Teringat
kembali sahabatku yang sangat memperhatikan kata-kata yang dituliskan oleh
seorang teman. Katanya sikap dan perbuatan seseorang bisa terlihat dari
pemilihan kata-kata dan cara menulis. Apakah orang tersebut dapat menghargai
orang lain ataukah hanya bisa menghargai dirinya sendiri.
Terkadang
dari sebuah tulisan kita bisa melihat apakah orang tersebut cukup bisa kita
anggap sebagai teman, sahabat, ataupun musuh. Setiap orang akan terlihat
karakternya dari cara dia menulis, jadi walaupun dia berpura-pura menjadi orang
lain dan mengaku-ngaku sebagai orang lain. Tulisan dan pemilihan kata-kata
tidak akan pernah bisa hilang dari karakter kita.
Dengan
memahami Filosofi Kertas ini, semoga bisa menjadi pelajaran buat kita bahwa
sebebas-bebasnya kita menuliskan status di FB , twitter ataupun mengirim SMS.
Berhati-hatilah dalam memilih kata-kata, karena kita tidak tahu bahwa kata-kata
kita tersebut bisa jadi menyakiti hati orang lain.
Referensi:
No comments:
Post a Comment