Mengapa
manusia harus berfilsafat? Untuk apa manusia berfilsafat? Apakah hanya orang
yang belajar filsafat saja yang bisa berfilsafat? Jawabannya adalah tidak ada
manusia yang tidak berfilsafat. Semua aspek yang dilakukan manusia tidak bisa
lepas dari aktivitas filsafat. Sesuai dengan makna kata filsafat itu sendiri
bahwa filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Ini artinya bahwa menuju
kebijaksanaan tersebut memiliki proses yang harus dipikirkan oleh manusia untuk
mencapainya. Akal sebagai alat primer dari diri manusia sekaligus pembeda dari
semua makhluk yang ada, selalu mengajak manusia untuk melakukan proses
pencarian jawaban terhadap apa yang dipertanyakannya. Maka dari itu, siapapun
kita, pada kenyataannya mengalami sebuah proses berfilsafat. Memang dalam ranah
yang signifikan jelas membedakan. Tapi bukan berarti seseorang menolak dirinya
berfilsafat atau bahkan membenci filsafat itu sendiri.
Untuk memberi gambaran, mari kita lihat
bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran
filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan
dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut:
1. Seorang
neuropsikolog, yang sedang meneliti korelasi antara fungsi-fungsi tertentu otak
manusia dan rasa sakit, mulai sangsi, apakah “akal budi” sungguh berbeda dengan
otak.
2. Seorang
ahli fisika nuklir, setelah berketetapan bahwa materi sebagian besar adalah
ruang hampa yang di dalamnya terjadi transformasi-transformasi energi tanpa
warna, mulai bertanya-tanya, sejauh manakah dunia yang padat, berkeluasan, dan
berwarna seperti yang kita persepsikan ini berkaitan dengan keberadaannya yang
sesungguhnya dan manakah di antara keduanya itu yang lebih “nyata”.
3. Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang
semakin berhasil memprediksikan perilaku manusia, bertanya-tanya, adakah
tindakan manusia yang dapat dikatakan “bebas”.
4. Mahkamah
Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang sopan dan yang
tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang hakikat dan
fungsi seni.
5. Seorang
teolog, setelah kalah perang melawan sains mengenai arti harfiah alam semesta
(atau “kenyataan”), terpaksa harus merumuskan kembali seluruh tujuan dan cakupan
teologi tradisional.
6. Seorang
antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki
konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya
yang membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral.
7. Seorang
ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa membentuk pandangan
kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu “kenyataan sejati” karena
semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan dibatasi oleh bahasa yang
digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan itu.
8. Seorang
skeptis sejati, yang telah terbiasa menuntut dan menolak bukti-bukti absolut
bagi setiap sudut pandang yang ditemuinya, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi
manusia untuk mengetahui apapun.
Dengan
berfilsafat, kita akan lebih peka terhadap hal-hal yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula berkembangnya persoalan
besar filsafat. Dalam rangka berfilsafat itu, ada empat sikap batin yang
diperlukan:
1. Keberanian untuk menguji secara
kritis hal-hal yang kita yakini.
2. Kesediaan untuk mengajukan
hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap suatu
pernyataan filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita
pada saat itu.
3. Tekad untuk menempatkan upaya
mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kekecewaan karena
“kalah” dalam perdebatan.
4. Kemampuan untuk memisahkan
kepribadian seseorang dari materi diskusi, agar tidak menyebabkan kekaburan
berpikir atau konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses diskusi filsafat.
Mereka
yang tidak menaruh minat pada teori-teori filsafat bisa saja tertarik pada satu
dua permasalahan filsafat tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat biasanya
adalah mengamati beberapa contoh penting permasalahan filsafat. Teori-teori
filsafat, yang seringkali kompleks dan tak jarang rumusannya aneh-aneh itu,
kiranya tidak akan menarik minat sebelum seseorang tahu bagaimana teori-teori
tersebut sebenarnya menjawab permasalahan filsafat yang dihadapinya. Percuma memberikan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan.
Sama
seperti kaum profesional lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam bahasa
khusus menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik
suatu teori. Tidak jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas
masalah-masalah yang lain lagi. Namun, tidak peduli sekompleks dan seberat
apapun, teori-teori tersebut pada dasarnya adalah tanggapan terhadap
masalah-masalah seni, moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat.
Di
pinggiran-pinggiran wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal
yang tersembunyi; mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian
itu tersimpan masalah-masalah yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk
ke dalam suatu kajian filsafat secara umum.
Lalu, apa saja yang mendorong
manusia untuk berfilsafat? faktor-faktor
yang mendorong manusia untuk berfilsafat yakni sebagai berikut:
1.
Keheranan
Salah satu
sifat manusia yang satu ini adalah sebuah fitrah artinya memang sudah menjadi
dorongan tersendiri ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru. Banyak
filosof-filosof mengawali dirinya dengan menunjukkan rasa keherananya pada
sesuatu yang baru. Dalam bahasa yunani Thaumasia sebagai asal filsafat.
Juga dalam perkataan plato “ mari kita memberi pengamatan bintang-bintang,
matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari
penyelidikan ini berasal filsafat.”
Dari pernyataan
Plato, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa rasa heran ini mampu mengantar
manusia pada proses berfilsafat. Wajar saja kalau sesuatu hal yang baru kita
ketahui menjadi sebuah pertanyaan besar bagi seseorang.
2.
Kesangsian/keraguan
Ada beberapa
filosof yang ragu atas sesuatu yang dia hadapi, seperti Augustinus (254-430 M)
dan Rene Descrates (1595-1650 M) menunjukkan bahwa kesangsian adalah sebagi
sumber utama pemikiran. Dengan adanya keraguan ini, maka membuat seseorang
mempertanyakan kembali setiap yang ia hadapi. Awal sikap ini ditunjukkan dengan
keheranan lalu kemudian muncul keraguan. Seolah pertanyaan akan muncul “apakah
ini suatu kebenaran? Karena mungkin seseorang akan beranggapan bahwa ia sedang
ditipu oleh panca indranya. Lalu muncul lagi pertanyaan, hingga mencapai
keyakinan yang ia anggap benar. Oleh sebab itulah dunia ini penuh dengan
berbagai pendapat, keyakinan, dan interprestasi.
3.
Kesadaran Akan
Keterbatasan
Manusia sering kali kali akan mulai merenungkan
segala sesuatunya jika ia berada pada titik yang sudah membatasi dirinya.
Kadang asumsi muncul dalam benaknay seseorang akan kehidupan yang dijalaninya.
Ia menyadari bahwa dirinya begitu kecil dibandingkan dengan alam sekelilingnya.
Manusia akan merasa dirinya sangat terbatas dan terikta oleh ruang dan waktu.
Hingga dengan kesadaran akan keterbatasan inilah ia akan memulai melakukan
kontemplasi terhadap yang ia hadapi. Hingga nanti pada akhirnya ia akan mempertanyakan
di luar manusia yang terbatas pasti ada yang tidak terbatas.
Referensi:
So helpful
ReplyDeleteGreat
ReplyDelete