Sunday, October 23, 2016

Alasan kenapa manusia harus berfilsafat

Mengapa manusia harus berfilsafat? Untuk apa manusia berfilsafat? Apakah hanya orang yang belajar filsafat saja yang bisa berfilsafat? Jawabannya adalah tidak ada manusia yang tidak berfilsafat. Semua aspek yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas filsafat. Sesuai dengan makna kata filsafat itu sendiri bahwa filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Ini artinya bahwa menuju kebijaksanaan tersebut memiliki proses yang harus dipikirkan oleh manusia untuk mencapainya. Akal sebagai alat primer dari diri manusia sekaligus pembeda dari semua makhluk yang ada, selalu mengajak manusia untuk melakukan proses pencarian jawaban terhadap apa yang dipertanyakannya. Maka dari itu, siapapun kita, pada kenyataannya mengalami sebuah proses berfilsafat. Memang dalam ranah yang signifikan jelas membedakan. Tapi bukan berarti seseorang menolak dirinya berfilsafat atau bahkan membenci filsafat itu sendiri.
Untuk memberi gambaran, mari kita lihat bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut:
1.      Seorang neuropsikolog, yang sedang meneliti korelasi antara fungsi-fungsi tertentu otak manusia dan rasa sakit, mulai sangsi, apakah “akal budi” sungguh berbeda dengan otak.
2.      Seorang ahli fisika nuklir, setelah berketetapan bahwa materi sebagian besar adalah ruang hampa yang di dalamnya terjadi transformasi-transformasi energi tanpa warna, mulai bertanya-tanya, sejauh manakah dunia yang padat, berkeluasan, dan berwarna seperti yang kita persepsikan ini berkaitan dengan keberadaannya yang sesungguhnya dan manakah di antara keduanya itu yang lebih “nyata”.
3.       Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang semakin berhasil memprediksikan perilaku manusia, bertanya-tanya, adakah tindakan manusia yang dapat dikatakan “bebas”.
4.      Mahkamah Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang sopan dan yang tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang hakikat dan fungsi seni.
5.      Seorang teolog, setelah kalah perang melawan sains mengenai arti harfiah alam semesta (atau “kenyataan”), terpaksa harus merumuskan kembali seluruh tujuan dan cakupan teologi tradisional.
6.      Seorang antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral.
7.      Seorang ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa membentuk pandangan kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu “kenyataan sejati” karena semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan dibatasi oleh bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan itu.
8.      Seorang skeptis sejati, yang telah terbiasa menuntut dan menolak bukti-bukti absolut bagi setiap sudut pandang yang ditemuinya, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahui apapun.

Dengan berfilsafat, kita akan lebih peka terhadap hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula berkembangnya persoalan besar filsafat. Dalam rangka berfilsafat itu, ada empat sikap batin yang diperlukan:
1.      Keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini.
2.      Kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap suatu pernyataan filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita pada saat itu.
3.      Tekad untuk menempatkan upaya mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kekecewaan karena “kalah” dalam perdebatan.
4.      Kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi, agar tidak menyebabkan kekaburan berpikir atau konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses diskusi filsafat.

Mereka yang tidak menaruh minat pada teori-teori filsafat bisa saja tertarik pada satu dua permasalahan filsafat tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat biasanya adalah mengamati beberapa contoh penting permasalahan filsafat. Teori-teori filsafat, yang seringkali kompleks dan tak jarang rumusannya aneh-aneh itu, kiranya tidak akan menarik minat sebelum seseorang tahu bagaimana teori-teori tersebut sebenarnya menjawab permasalahan filsafat yang dihadapinya. Percuma memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan.
Sama seperti kaum profesional lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam bahasa khusus menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik suatu teori. Tidak jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-masalah yang lain lagi. Namun, tidak peduli sekompleks dan seberat apapun, teori-teori tersebut pada dasarnya adalah tanggapan terhadap masalah-masalah seni, moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat.
Di pinggiran-pinggiran wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal yang tersembunyi; mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian itu tersimpan masalah-masalah yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk ke dalam suatu kajian filsafat secara umum.
            Lalu, apa saja yang mendorong manusia untuk berfilsafat? faktor-faktor yang mendorong manusia untuk berfilsafat yakni sebagai berikut:
1.      Keheranan
Salah satu sifat manusia yang satu ini adalah sebuah fitrah artinya memang sudah menjadi dorongan tersendiri ketika seseorang menemukan sesuatu yang baru. Banyak filosof-filosof mengawali dirinya dengan menunjukkan rasa keherananya pada sesuatu yang baru. Dalam bahasa yunani Thaumasia sebagai asal filsafat. Juga dalam perkataan plato “ mari kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
Dari pernyataan Plato, bisa kita ambil sebuah kesimpulan bahwa rasa heran ini mampu mengantar manusia pada proses berfilsafat. Wajar saja kalau sesuatu hal yang baru kita ketahui menjadi sebuah pertanyaan besar bagi seseorang.
2.      Kesangsian/keraguan
Ada beberapa filosof yang ragu atas sesuatu yang dia hadapi, seperti Augustinus (254-430 M) dan Rene Descrates (1595-1650 M) menunjukkan bahwa kesangsian adalah sebagi sumber utama pemikiran. Dengan adanya keraguan ini, maka membuat seseorang mempertanyakan kembali setiap yang ia hadapi. Awal sikap ini ditunjukkan dengan keheranan lalu kemudian muncul keraguan. Seolah pertanyaan akan muncul “apakah ini suatu kebenaran? Karena mungkin seseorang akan beranggapan bahwa ia sedang ditipu oleh panca indranya. Lalu muncul lagi pertanyaan, hingga mencapai keyakinan yang ia anggap benar. Oleh sebab itulah dunia ini penuh dengan berbagai pendapat, keyakinan, dan interprestasi.
3.      Kesadaran Akan Keterbatasan
Manusia sering kali kali akan mulai merenungkan segala sesuatunya jika ia berada pada titik yang sudah membatasi dirinya. Kadang asumsi muncul dalam benaknay seseorang akan kehidupan yang dijalaninya. Ia menyadari bahwa dirinya begitu kecil dibandingkan dengan alam sekelilingnya. Manusia akan merasa dirinya sangat terbatas dan terikta oleh ruang dan waktu. Hingga dengan kesadaran akan keterbatasan inilah ia akan memulai melakukan kontemplasi terhadap yang ia hadapi. Hingga nanti pada akhirnya ia akan mempertanyakan di luar manusia yang terbatas pasti ada yang tidak terbatas.



Referensi:

2 comments: