Bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan yang hidup
dan berkembang senantiasa akan mengalami perubahan. Perubahan itu sejalan
dengan kebutuhan masyarakat terhadap bahasa itu.
Pada era globalisasi ini, ada kecemasan dari para ahli
bahasa, peneliti, pemerhati bahasa, guru dan dosen bahasa bahwa banyak bahasa
daerah yang akan mengalami kepunahan atau terancam punah dalam waktu yang
relatif cepat. Kecemasan tersebut patut mendapat perhatian karena hilangnya
satu bahasa daerah merupakan suatu indikasi hilangnya satu kebudayaan dan
peradaban dunia.
Menyikapi hal tersebut di atas
itu Krauss (dalam Alwi, 2000) membagi
bahasa-bahasa alami yang masih digunakan menjadi tiga kelompok. Kelompok
pertama terdiri atas bahasa-bahasa yang tidak lagi dikuasai sehingga bahasa
itu, tidak dapat digunakan oleh generasi muda dari kelompok penutur bahasa yang
bersangkutan (moribun). Kelompok kedua berhubungan dengan bahasa-bahasa
yang terancam punah dalam arti bahwa satu atau generasi mendatang dari kelompok
etnik yang bersangkutan tidak akan lagi menguasai dan menggunakan
bahasa-bahasa tersebut (endangered). Kelompok ketiga berkenaan dengan
bahasa-bahasa yang tergolong aman dalam arti tidak terancam oleh kepunahannya (safe).
Dari paparan di atas Krauss mencoba
memberikan wacana tentang proses ketahanan
bahasa-bahasa. Sebuah bahasa daerah untuk tetap exist (bertahan),
selain ditentukan oleh jumlah penutur, kekuatan dan potensi bahasa daerah juga
ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu faktor budaya atau tradisi tulis, faktor
pemakaian dalam bidang pendidikan, dan faktor peranannya sebagai sarana
pendukung kebudayaan.
Bagaimana
dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Sulawesi Tenggara? Adanya kecemasan bahwa bahasa
daerah di Sulawesi Tenggara rawan punah,
merupakan suatu realitas yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan
masyarakat pada umumnya. Apabila
kita identifikasi kecemasan akan permasalahan tersebut terjadi karena beberapa hal yaitu: 1) perkembangan/pemekaran suatu
wilayah/daerah, 2)
sikap penutur
bahasa daerah (khususnya
generasi muda) yang kurang positif terhadap bahasa daerahnya, 3) jumlah penutur bahasa
daerah yang relatif kecil jumlahnya, 4) lingkungan sosial yang didiami oleh berbagai etnis, 5) adanya
pernikahan campuran (beda suku), 6) tidak berkembangnya budaya tulis pada bahasa itu, dan 7) adanya anggapan
bahwa bahasa darah kurang memiliki kegunaan praktis.
Pada umumnya bahasa daerah yang
jumlah penuturnya sedikit (rawan punah) cenderung merupakan bahasa yang tidak
mempunyai tulisan.
Dengan demikian tradisi lisan yang berkembang pada bahasa-bahasa ini jika tidak
segera didokumentasikan, maka akan sangat sulit untuk mempertahankan
eksistensinya.
Memupuk
sikap positif terhadap bahasa daerah juga sebuah modal dasar yang besar untuk
melestarikan bahasa. Sayangnya, banyak generasi muda justru merasa malu ketika
telah berada di luar daerahnya untuk memperkenalkan atau menggunakan bahasa
itu.
Ketahanan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Tenggara merupakan
tanggung jawab kita bersama, baik pemerintah, pemerintah daerah, linguis,
peneliti bahasa, dosen/guru bahasa, pencinta bahasa, termasuk peminat bahasa
daerah Sulawesi Tenggara. Tanggung jawab dan kepedulian itu dapat ditunjukkan
dalam berbagai wujud yang pada akhirnya berujung pada pelestarian,
pengembangan, pembinaan, perlindungan dan pemberdayaan bahasa-bahasa daerah
Sulawesi Tenggara.
Kecemasan akan ketahanan bahasa
Daerah tidak perlu terjadi berlebihan, kalau saja kita mampu memahami kedudukan
dan fungsi bahasa daerah itu. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa
Daerah juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Menurut Hasan Alwi (Alwi, 2000) untuk
mengetahui dan melihat kedudukan bahasa Daerah kita harus menggunakan dua sudut
pandang. Pertama, bahasa Daerah
sebagai sebagai sarana komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik
yang sama. Kedua, bahasa Daerah
dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia.
Dari sudut pandang pertama
maka fungsi bahasa Daerah memiliki lima fungsi, yaitu:
a. Bahasa Daerah sebagai lambang
kebanggaan Daerah.
b. Bahasa Daerah sebagai lambang
identitas Daerah.
c. Bahasa Daerah sebagai alat
perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
d. Bahasa Daerah sebagai sarana
pendukung kebudayaan Daerah, dan
e. Bahasa Daerah sebagai pendukung
bahasa dan sastra Daerah.
Apabila dilihat dari sudut pandang
kedua, yaitu dari segi hubungan antara bahasa Daerah dan bahasa Indonesia, maka
ada empat fungsi yang diemban oleh bahasa Daerah yaitu:
a. Bahasa Daerah sebagai pendukung
bahasa nasional,
b. Bahasa Daerah sebagai bahasa
pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar.
c. Bahasa Daerah sebagai sumber
kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia.
d. Bahasa Daerah sebagai pelengkap
bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Apabila kedudukan dan fungsi-fungsi
tersebut dapat tersosialisasikan dan terpahami bukan hanya di kalangan
pemerhati bahasa, tetapi juga di masyarakat pemakai bahasa maka keberadaan
bahasa Daerah akan dapat terus dipertahankan.
Melihat kedudukan dan fungsi-fungsi
bahasa Daerah sebagaimana dikemukakan di atas, maka kedudukan bahasa bahasa
Daerah melengkapi dan mendukung keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional.
Jika bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional merupakan sarana pendukung tugas-tugas nasional, alat komunikasi
nasional, wahana pemersatu bangsa, sarana pengembangan kebudayaan nasional dan
IPTEK, maka keberadaan bahasa Daerah selain sebagai sarana komunikasi juga
memiliki fungsi strategis dalam pengungkapan dan pengembangan budaya bangsa,
serta pencerdasan dan pembangunan karakter bangsa yang berakar pada nilai-nilai
budaya dan keunggulan lokal.
Di era globalisasi ini berbagai pengaruh dan budaya asing menyerbu
bagai air bah tanpa terbedung melalui berbagai sarana komunikasi yang semakin
canggih. Nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan
sosial yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu masyarakat, makin pudar
bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme dan kecenderungan
individualisme. Intensitas silaturrahmi antar anggota atau kelompok masyarakat
semakin berkurang. Jika tidak ada filter dan daya tangkal yang tangguh maka
tidak menutup kemungkinan budaya dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia
kian hari kian pupus. Di sinilah bahasa daerah dapat memainkan peran
strategisnya dalam upaya pencerdasan dan pembangunan budaya dan karakter
bangsa,khususnya di daerah.
Bahasa daerah dapat menjadi sumber
untuk menemukan kembali nilai-nilai moral yang semakin terkikis gaya hidup
hedonis di era globalisasi. Di dalam
bahasa daerah kita dapat menemukan dua keunggulan, yaitu keunggulan internal
dan keunggulan eksternal. Keunggulan
internal, merujuk pada kekayaan linguistik, misalnya kosa-kata yang luas untuk
mengekspresikan suatu gagasan yang nyata atau abstrak. Keunggulan eksternal,
yaitu keunggulan yang mengacu pada aspek-aspek di luar bahasa, seperti kekayaan
budaya daerah serta kekuatan-kekuatan batiniah yang meliputi bahasa daerah itu.
Keberadaan bahasa daerah sebagai
sarana pencerdasan kehidupan bangsa dan pengembangan karakter dapat kita tinjau
dari peranannya dalam kehidupan, yaitu ;
1. Bahasa daerah menjadi sarana ekpresi batin yang lebih efektif.
Dengan
menguasai dan menggunakan bahasa daerah kita bisa lebih mudah berkomunikasi
dengan nilai, tradisi,etika, rasa dan batin para orangtua, sesepuh, pemuka adat
yang dihasilkan dari pergulatan dan perjuangan mereka dalam menghadapi
persoalan hidup. Hal ini merupakan pembelajaran berharga yang dapat memperkaya pembentukan karakter
individu dan masyarakat
2. Bahasa daerah sebagai
filter sosial dan budaya
Bahasa
daerah dapat mengantar kita untuk dapat belajar tentang kesantunan,prinsip-prinsip
moral dan nilai-nilai keunggulan lokal yang telah ditanamkan para pendahulu
kita yang masih relevan. Hal inilah yang akan mampu menjadi filter social dan
budaya pengaruh idividualisme; liberalisme, dan kapitalisme di era globalisasi
saat ini.
3. Bahasa daerah sebagai “ruang berteduh”
Bahasa
daerah mampu menjadi jejaring sosial yang menjadi ruang berteduh bagi masyakat
modern dan urban. Di ruang berteduh tersebut anggota komunitas , dengan
menggunakan bahasa bahasa daerah dengan orang sedaerah akan bisa mengendurkan
saraf-saraf batin kita dari tekanan-tekanan hidup publik yang teramat melelahkan di era
globalisasi. Dengan bahasa daerah kita lebih mudah bicara tentang kebersamaan,
gotong-royong, persoalan adat, atau masalah-masalah keluargaan.
4. Bahasa daerah sebagai asset pariwisata budaya
Bahasa
daerah dengan sastra daerahnya yang jumlahnya cukup banyak di Sulawesi Tenggara
jika dilestarikan dan didokumentasikan dengan baik dapat menjadi asset
pariwisata yang berharga. Berbagai ritual kegiatan dan acara-acara adat di
Sulawesi Tenggara tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan bahasa daerah
menjadi salah satu budaya yang memiliki nilai jual. Oleh karena itu dibutuhkan
pewarisan dari generasi ke generasi agar tutur bahasa yang ada dalam
adat-istiadat setiap etnik di Sulawesi Tenggara tidak punah ditelan zaman.
Dapatlah kita simpulkan bahwa bahasa
daerah memiliki potensi yang besar dalam membangun daerah. Bahasa daerah mampu memperkuat identitas
daerah sebagai bagian jati diri bangsa dan memantapkan budaya daerah. Budaya daerah yang kokoh akan mampu menangkal
penetrasi budaya asing yang adakalanya tidak sesuai dengan karakter bangsa.
Bahasa merupakan cerminan budaya. Aktualisasi bahasa daerah secara konsisten
diharapkan mampu merevitalisasi dan reaktualisasi budaya yang muaranya adalah
peningkatan kehidupan yang lebih bermartabat.
Tulisan ini ingin menegaskan kepada kita untuk menjadikan
bahasa daerah menjadi sebuah sarana dan sumber belajar yang sangat berarti. Bahasa daerah menjadi sarana
pencerdasan bangsa, khususnya dalam pendidikan karakter bangsa. Bahasa daerah
juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi budaya daerah.
Kekuatan-kekuatan inilah yang dapat menjadi modal dasar dalam mengantisipasi
pangaruh budaya global di era globalisasi. Dengan melestarikan bahasa daerah
kita turut melestarikan budaya bangsa karena bahasa adalah roh dan akar kuat
dari sebuah budaya.
Oleh
karena itu sudah selayaknya, apabila bahasa daerah sebagai bahasa ibu (mother tongue) tidak terlupakan dan
mulai diperkenalkan sedini mungkin pada anak-anak kita. Bahasa daerah juga
perlu mendapat tempat dalam pembelajaran di sekolah ,disamping pembelajaran
bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Hanya dengan kesadaran dan kepedulian kita,
bahasa daerah dapat bertahan dan tumbuh kembang dengan baik untuk menjadi
pilar-pilar khazanah kekayaan budaya Indonesia.
Ulasan:
Pada era globalisasi ini, ada kecemasan dari para ahli
bahasa, peneliti, pemerhati bahasa, guru dan dosen bahasa bahwa banyak bahasa
daerah yang akan mengalami kepunahan dalam waktu yang relatif cepat.
Kecemasan akan permasalahan
tersebut terjadi karena beberapa
hal yaitu:
1)
perkembangan/pemekaran suatu
wilayah/daerah,
2)
sikap penutur
bahasa daerah
(khususnya generasi muda) yang kurang positif terhadap bahasa
daerahnya,
3)
jumlah penutur bahasa daerah yang relatif kecil jumlahnya,
4)
lingkungan
sosial yang didiami oleh berbagai etnis,
5)
adanya
pernikahan campuran (beda suku),
6)
tidak berkembangnya budaya tulis pada bahasa itu, dan
7)
adanya anggapan
bahwa bahasa darah kurang memiliki kegunaan praktis
Kecemasan akan ketahanan bahasa
Daerah tidak perlu terjadi berlebihan, kalau saja kita mampu memahami kedudukan
dan fungsi bahasa daerah itu. Menurut Hasan Alwi (Alwi, 2000) untuk mengetahui
dan melihat kedudukan bahasa Daerah kita harus menggunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa Daerah sebagai sebagai
sarana komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang
sama. Kedua, bahasa Daerah dalam
kaitannya dengan bahasa Indonesia.
Bahasa daerah harus dipertahankan karena
bahasa daerah merupakan identitas suatu daerah. Mempertahankan bahasa daerah
bisa dilakukan dengan berbagai cara yaitu mulai diperkenalkan sedini mungkin pada anak-anak kita.
Bahasa daerah juga perlu mendapat tempat dalam pembelajaran di sekolah
,disamping pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Asing. Hanya dengan
kesadaran dan kepedulian kita, bahasa daerah dapat bertahan dan tumbuh kembang
dengan baik untuk menjadi pilar-pilar khazanah kekayaan budaya Indonesia.
No comments:
Post a Comment