Friday, October 21, 2016

Apa itu manusia? (What is man?) [Pertanyaan ke-4 Immanuel Kant]


Dalam konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya, para ahli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia yaitu hewan. Secara umum komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari sudut pandang naturalis/biologis dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan manusia dan karenanya bahwa manusia itu adalah suatu mesin.
Kalau manusia itu sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan berperadaban yang tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah melahirkan berbagai pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya (Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu (Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapiens.
Dengan memahami uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya untuk menunjukan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami lebih jauh siapa itu manusia, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli:
1.      Plato (427 – 348). Dalam pandangan Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
2.      Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
3.      Ibnu Sina (980 -1037 M). manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
4.      Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia adalah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
5.      Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2) Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat).
6.      Harold H. Titus menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself as organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the meaning of human existence. Selanjutnya Dia menyebutkan beberapa faktor yang berkaitan (menjadi karakteristik ) dengan manusia sebagai pribadi yaitu :
a.      Self conscioueness
b.      Reflective thinking, abstract thought, or the power of generalization
c.       Ethical discrimination and the power of choice
d.      Aesthetic appreciation
e.       Worship and faith in a higher power
f.       Creativity of a new order
7.      R.F. Beerling. Menyatakan bahwa manusia itu tukang bertanya.
Dari uraian dan berbagai definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan tentang siapa itu manusia yaitu:
1.      Secara fisikal, manusia sejenis hewan juga
2.      Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3.      Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4.      Manusia punya kemauan bebas
5.      Manusia bisa berprilaku sesuai norma (bermoral)
6.      Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7.      Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar diri
8.      Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada Tuhan
Tampak terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya hewan, secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti jika manusia dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia untuk berfikir tentang sesuatu yang melebihi pengalamannya seperti keyakinan pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh ajaran Agama.
Dalam Al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulang kali juga direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan malaikat, tapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat “yang paling rendah dari segala yang rendah” (asfala safilin).
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif.
Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah.
Manusia adalah satu kata yang sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah makhluk yang sangat sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat spesial dan berbeda dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari kebenaran, mencari Ilmu Pengetahuan, membedakan mana yang baik atau buruk, dan hal lainya. Karena begitu banyak kesempurnaan yang di miliki manusia tidak terlepas dari tugas mereka sebagai khalifah di Bumi ini. Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia yang berkualitas.
Adapun sumber lain mengatakan Al qur’an mengenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada  makna pokok manusia, yaitu basyar, al-insan, dan al-nas.
1.      Basyar
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
2.      Insan
Kata al-insan disebut sebanyak 65 kalidalam al-qur’an. Hamper semua ayat yang menyebutmanusia dengan menggunakan kata al-insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moralmaupun spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan yang tidak dimiliki makhluk lain. Jalaludin Rahmat (1994) memberi pengertian luas al-insan ini pada tiga kategori.Pertama, al-insan dihubungkan pada keistimewaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dan pemikul amanah. Kedua, al-insan dikaitkan dengan predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses pencciptaan manusia. Kecuali kategori tiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
3.      Al-Nas
Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk social.Manusia dalam arti al-nas ini paling banyak disebut dalam al-qur’an (240 kali).
Penjelasan konsep ini dapat ditunjukan dalam dua hal. Pertama, banyak  ayat yang menunjukan kelompok-kelompok social dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama. Ayat –ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan di antara manusia). Memperhatikan ungkapan ini kita menemukan petunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan beriman padahal sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu-sekutu selain Allah  (2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia padahalmemusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang lemah (22:11; 29:10).
Manusia di dunia ini adalah sebagai wakil Allah Swt. (Q.S.2: 30,38: 26), dan sebagai pewaris-pewaris di muka bumi(Q.S. 27:62). Di samping itu, manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi, dan gunung, yang semunya enggan menerimanya. Serta menjadi pemimpin atas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (H.R.Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar). Semuanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia sebagai”Khalifah Allah” di muka bumi.
Secara universal tujuan hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebagiaan itu sendiri sangat relatif sehingga masing-masing orang akan berbeda dalam memaknai arti bahagia itu sendiri. Ada yang menilai kekayaan harta benda sebagai sumber kebahagiaan hidup, yang lain menitikberatkan pada keindahan, pengetahuan, kesusilaan, kekuasaan, budi pekerti, keshalehan hidup, keagamaan dan sebagainya.
Masing-masing orang, setelah merenungkan serta menilai hidupnya berdasarkan aneka ragam pengalaman yang telah dilalui serta pengetahuan yang diperoleh dari orang lain atau bangsa lain, ternyata mempunyai pandangan yang berbeda, di mana pandangan hidup itu dijadikan dasar guna mencapai tujuan hidupnya yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam keberagaman pandangan hidup yang berbeda itu, oleh ahli pikir disusun secara sistematis lalu timbullah falsafah hidup manusia, yang di dalamnya terdapat pokok-pokok bahasan, misalnya; dari mana asalnya hidup, siapa pemberi hidup, apa tujuan hidup, apa yang akan terjadi sesudah mati, apakah hidup bahagia itu, dan sebagainya.
Namun sesungguhnya tugas utama manusia sendiri bukan mencari sebuah kebahagiaan. Secara tidak langsung manusia hanya menjalankan fungsi haknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi kewajibannya. Karena jika kita ingat bahwa manusia di samping mempunyai status sebagai makhluk dan bagian dari alam, ia juga mempunyai tugas sebagai khalifah/penguasa di muka bumi ini. Dengan pengertian, bahwa manusia itu dibebani tanggung jawab dan anugerah kekuasaan untuk mengatur dan membangun dunia ini dalam berbagai segi kehidupan, dan sekaligus menjadi saksi dan bukti atas kekuasaan Allah Swt di alam semesta ini. Tugas kekhalifahan ini bagi manusia merupakan tugas suci karena merupakan amanah dari Allah Swt. Makamenjalankan tugas sebagai khalifah dibumi merupakan pengabdian (ibadah) kepada-Nya. Bagi mereka yang beriman akan menyadari statusnya sebagai khalifah (penguasa) di bumi, serta mengetahui batas kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya.
Tugas kekhalifahan yang dibebankan kepada manusia itu banyak sekali, tetapi dapat disimpulkan dalam tiga bagian pokok, sebagaimana yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad, yaitu:
1.                            Tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, meliputi menuntut ilmu yang berguna dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia.
2.                            Tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga, dengan jalan membentuk rumah tangga bahagia, menyadari dan melaksanakan tugas dan kewajiban rumah tangga sebagai suami istri dan orang tua.
3.                            Tugas kekhalifahan dalam masyarakat, dengan mewujudkan persatuan dan kesatuan, menegakkan kebenaran dan keadilan sosial, bertanggung jawab dalam amar ma'ruf dan nahi munkar dan menyantuni golongan masyarakat yang lemah.
Dalam memahami manusia tentu harus dipedomani dengan pandangan islam sebagai tolak ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya apa hakikat manusia. Dalam pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur yaitu unsur materi dan non materi.Dari pengertiannya bahwa dimensi materi bermakna manusia adalah al-jism dan dimensi non-materi bermakna al-ruh.
Dimensi materi memerlukan pendidikan yang berguna untuk mengembangkan potensi yang sudah terlahir, pembinaan dan pengembangan potensi yang dimiliki manusia berfungsi untuk menunjukkan bahwa manusia layak menjadi khalifah dimuka bumi ini. Perkembangan jaman yang terus-menerus semakin menunjukkan perkembangannya, harus diimbangi dengan ilmu pengetahuan yang relevan guna untuk memberikan keseimbangan antara alam dengan manusia.Jika pendidikan tidak mengambil perannya, maka manusia akan tertinggal dan tidak akan mampu mengelola kapasitas rahasia yang perlu diungkap yang berguna untuk menambah wawasan manusia dalam mengurus dan menjaga alam.
Dimensi "memiliki" dan "ada" saling berkaitandengan memiliki" (to have) dan "ada" (to be) merupakan dua kategori fundamental kemanusiaan. Agar manusia dapat berada, dapat hidup, dapat berkembang sebagai pribadi ia harus memiliki sesuatu."Memiliki" berakar dalam eksistensi manusia sendiri.Fromm menyebut existensial having. Sudah banyak usaha-usaha untuk merumuskan unsur-unsur apa yang minimal harus termuat dalam " having" dan "being" itu. Hal ini dapat dirumuskan dalam kerangka kualitas hidup, nilai-nilai yang dituju manusia, atau pemenuhan kebutuhan dasar manusia.Aspek "pemilikan" berkaitan dengan dimensi kejasmian manusia yang memiliki relasi dengan alam, lingkungan ekologis yang konstitutif bagi kemanusiaan. Relasi manusia dengan alam memiliki batas-batas yang harus dihormati bila ia melestarikan hidup. Maka apa yang secara teknis mungkin, tidak selalu secara etis mungkin. Hal yang sama berlaku bagi batas-batas fisik dan psikis manusia.
a.      Manusia Dalam Dimensi Antropologis
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Dalam Antropologi Filsafat, konsep manusia selalu dirumuskan oleh kelompok tertentu secara struktural memiliki kemungkinan untuk mengekspresikan ideal budayanya. Dalam sejarah terlihat bahwa kelompok bawah tidak memperoleh kesempatan secara struktural untuk merumuskan cita-cita kemanusiaanya secara verbal dan mewujudkannya secara nyata dalam kehidupannya dalam masyarakat. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kesadaran akan kemanusiaannya tetapi mereka terhambat secara struktural untuk mengungkapkan gambarankemanusiaannya. Hal ini yang dikatakan kebudayaan "diam", seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire.De factonya kelompok bawah hanya menerima formulasi konsep kemanusiaan dari atas, kelompok yang lebih dominan. Kelompok bawah menginternalisasikan nilai-nilai itu sehingga cita-cita kemanusiaan sama dengan cita-cita kelompok penentu.Kelompok elit yang secara ekonomis kuat berusaha menciptakan idea budaya sesuai dengan kelompoknya.Pola kehidupan mereka adalah pola kemanusiaan yang konsumtif.Mereka lebih dikenal dengan Humanisme borjuis.
Humanisme borjuis ini mendasarkan diri pada hubungan manusia dengan dunia material. Namun seringkali hubungan humanisme borjuis ini merusak hubungan sosial : yang kuat membangun wilayahnya dengan kerja dari yang lemah. Perbedaan cara hidup dari yang kuat, yaitu kelompok yang mengusai modal, ilmu dan teknologi dan yang lemah teralienasi dari kerja danhasil kerjanya semakin kentara. Terjadilah proses yang kurang manusiawi secara eksistensial adalah kelompok yang lemah, m
aka inisiatif harus muncul dari kelompok itu sendiri. Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok bawah ini secara struktural tak dimungkinkan untuk mengekspresikan cita-cita kemanusiaanya.Jadi humanisme dalam konteks ini bertitik tolak dari pengalaman negatif yang memperjuangkan kemanusiaanya.Oleh karena itu, untuk membangun manusia bangsa, perlu diperhatikan hal-hal antropologis ini.
Dalam sumber lain dijelaskan pula Dalam al qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulang kali juga direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan malaikat, tapi pada saat yang samamereka tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukan alam (taskhir). Namun, posisi ini bias merosot ke tingkat “yang paling rendah dari segala yang rendah” (asfala safilin). (Muthahhari, 1992b:117).
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai kontrdiksi ini, mari kita lihat beberapa istilah kunci yang mengacu pada makna manusia.
b.      Manusia dalam Dimensi Sosiologis
Manusia dalam sejarahnya menciptakan struktur-struktur, tetapi pada gilirannya struktur-struktur menjadi otonom dan mengkondisikan manusia.Tentu saja hidup tidak mungkin tanpa tingkat institusionalisasi tertentu.Identitas manusia membutuhkan konsensus sosial, perlu didukung oleh struktur.Tetapi kerap kali struktur yang diperkuat oleh berbagai macam sistem legitimasi lebih memperbudak manusia daripada melindungi dan menciptakan kebebasan yang lebih luas.Di sini muncul tuntutan etis untuk mengubahnya.Hal ini secara khusus masalah pemerataan, keadilan sosial dan partisipasi politik.Ketiga hal ini merupakan nilai-nilai manusiawi yang perwujudannya tergantung pada struktur atau relasi-relasi sosial.Relasi seimbang manusia dengan sesama dan dengan lingkungannya seperti dicita-citakan dalam masyarakat kita hanya dapat terjadi jika benar-benar seimbang secara struktur.
Secara hakiki manusia juga sebagai makhluk social.Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang lemah tak berdaya. Dia tak mungkin melangsunhkan hidupnya tanpa orang lain. Potensi-potensi yang dibawa sejak lahir justru baru bias berkembang dalam pergaulan hidup sesame manusia.
Dalam pergaulan ini, disamping, memenuhikebutuhan biologosnya, juga dapat memperkembangkan potensi psikologisnya. Dengan kontak social secara timbal balik, akhirnya dia bias menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompoknya. Dengan penyesuaian diri ini, maka anak telah mulai membelakangkan kepentingan pribadi, demi kepentingan kelompoknya.
Menurut S. Freud, bila anak sudah dapat bergaul dan menyesuaikan diri dengan kelompoknya, berarti Das Ichnya sudah dapat mengendalikan Das Es atau egonya.
Dengan kenyataan ini, kehidupan social justru menyempurnakan pribadinya secara individual. Konsep islam mengenai sosiaalitas manusia (social being) menghendaki agar setiap orang islam, disamping selalu memelihara hubungan denhgan Tuhan (hablum minallah), juga harus memelihara hubungan dengan sesame manusia (hablum minannas). Islam menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Islam selalu menganjurkan agar setiap orang islam bersaudara dan saling tolong menolong satu sama lain, dan dengan keras melarang untuk saling bermusuhan.
c.       Manusia Dalam Dimensi Teologis
Teologiadalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama.Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan, memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi, menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.
Menurut islam, bukan sekedar ‘Homo Erectus Berkaki Dua’ yang dapat berbicara dan berkuku lebar. Akan tetapi manusia menurut pandangan islam dapat kita lihat dari al-Qur’an dan al-hadist.
Pertama, al-Qur’an menyebut manusia dengan Insan.Insan (jamaknya al Nas) dapat di lihat dari banyak asal kata.Insan di lihat dari anasa artinya melihat (QS 20:10), mengetahui (QS 4:6), dan meminta izin (QS 24:27).Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan penalaran manusia.Ia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui benar dan salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Sedang insan dilihat dari kata nasiya berarti lupa, yang berkaitan dengan kesadaran manusia.Jika dilihat dari asal kata al-Uns atau anisa berarti jinak.Dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kaitan erat dengan pendidikan jika di artikan dengan anasa, sebagai makhluk yang pelupa, dan sebagai makhluk yang tidak liar serta memiliki tata aturan etik, sopan santun dan berbudaya.
Kedua, Alqur’an juga menyebut manusia sebagai basyar. Pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam alqur’an seluruhnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut adalah anak adam yang bisa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan[4]. Dengan demikian kata basyar mengacu pada aspek lahiriyah manusia _bentuk tubuh, makan, minum dan kemudian mati (QS 21:34-35). Sebagaimana di dalam alqur’an disebutkan sebagai jawaban pertanyaan yang dilontarkan kepada rasulallah SAW yang artinya sebagai berikut:
“Katakanlah: sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku : “bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu tuhan yang esa”. Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang salehdan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada tuhannya”.

Dari kedua kata di atas insan dan basyar menunjukan dua dimensi manusia.Kata insan menunjukan kepada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedang kata basyar digunakan untuk menunjukan pada dimensi alamiah manusia, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum dan kemudian mati. Lebih lanjut, pandangan islam mengenai proses kejadian manusia dapat dilihat dalam surat al-Mukminun 12-14 yang berarti:
12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13.  Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14.  Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Di sini dapat dikatakan bahwa manusia terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari tuhan. Berbeda dari malaikat yang hanya merupakan makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) dan hewan, makhluk yang bersifat jasad material.
d.      Manusia Dalam Dimensi Pedagogis
Pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan, karena dipundaknyalah terletak tanggung jawab yang besar dalam upaya mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang telah dicitakan. Secara umum pendidik adalah mereka yang mempunyai tanggung jawab mendidik. Menurut Ahmad Tafsir pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab atas perkembangan peserta didik.
Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad SAW adalah al-mu’allim al-awwal (pendidik pertama dan utama) yang telah didik oleh Allah. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam pribadi Rosulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi, akhlak luhur, dan menggunakan metode atau alat yang tepat karena Beliau sudah dididik melalui ajaran-ajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an.
Intinya, pendidik itu merupakan seorang profesional dengan tiga syarat: memiliki pengetahuan yang lebih, mengimplisitkan nilai dalam pengetahuannya, dan bersedia mentransfer pengetahuan beserta nilainya pada peserta didik.Pendidik selain bertugas sebagai transfer of kknowledge, juga merupakan seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya, dan dalam melakukan tugas profesinya, pendidik bertanggung jawab sebagai seorang pengelola belajar (manager of learning), pengarah belajar (director of learning), dan perencana masa depan masyarakat (planner of the future society). Dengan tanggung jawab ini pendidik memiliki tiga fungsi yaitu:
a.       Fungsi Intruksional, bertugas melaksanakan pengajaran.
b.      Fungsi Edukasional, bertugas mendik peserta didik agar mencapai tujuannya.
c.       Fungsi Managerial, bertugas memimpin dan mengelola proses pendidikan.



Referensi:

No comments:

Post a Comment