Dalam
konteks perbandingan dengan bagian-bagian alam lainnya, para ahli telah banyak
mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama
dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia yaitu hewan. Secara umum
komparasi manusia dengan hewan dapat dilihat dari sudut pandang naturalis/biologis
dan sudut pandang sosiopsikologis. Secara biologis pada dasarnya manusia tidak
banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919) mengemukakan
bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang
belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie (1709 – 1751)
menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan manusia dan
karenanya bahwa manusia itu adalah suatu mesin.
Kalau
manusia itu sama dengan hewan, tapi kenapa manusia bisa bermasyarakat dan
berperadaban yang tidak bisa dilakukan oleh hewan ?, pertanyaan ini telah
melahirkan berbagai pemaknaan tentang manusia, seperti manusia adalah makhluk
yang bermasyarakat (Sosiologis), manusia adalah makhluk yang berbudaya
(Antropologis), manusia adalah hewan yang ketawa, sadar diri, dan merasa malu
(Psikologis), semua itu kalau dicermati tidak lain karena manusia adalah hewan
yang berfikir/bernalar (the animal that reason) atau Homo Sapiens.
Dengan
memahami uraian di atas, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung
merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut
memang diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal
(1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila kita menunjukan manusia
sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak menunjukan
kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya untuk menunjukan manusia
sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan kerendahan, dan lebih
berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran dan kelemahannya sama
sekali (Rasjidi. 1970 : 8). Guna memahami lebih jauh siapa itu manusia, berikut
ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli:
1.
Plato (427 – 348). Dalam pandangan Plato manusia
dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah
sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon
(berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon (Keinginan)
2.
Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia itu adalah hewan
yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan
akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon
Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas
famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
3.
Ibnu Sina (980 -1037 M). manusia adalah makhluk yang
mempunyai kesanggupan : 1) makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan
hal-hal yang istimewa, 5) pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan
(pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia,
tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan 1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai
kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
4.
Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia adalah hewan dengan
kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan
puncak dari segala kemulyaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.
5.
Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan
berfikir/akal), 2) Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah
(sahwat).
6.
Harold H. Titus menyatakan : Man is an animal organism, it is true but he is able to study himself
as organism and to compare and interpret living forms and to inquire about the
meaning of human existence. Selanjutnya Dia menyebutkan beberapa faktor
yang berkaitan (menjadi karakteristik ) dengan manusia sebagai pribadi yaitu :
a. Self conscioueness
b. Reflective thinking, abstract thought, or
the power of generalization
c. Ethical discrimination and the power of
choice
d. Aesthetic appreciation
e. Worship and faith in a higher power
f.
Creativity of a
new order
7.
R.F. Beerling. Menyatakan bahwa manusia itu tukang
bertanya.
Dari
uraian dan berbagai definisi tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa
kesimpulan tentang siapa itu manusia yaitu:
1.
Secara fisikal, manusia sejenis hewan juga
2.
Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3.
Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4.
Manusia punya kemauan bebas
5.
Manusia bisa berprilaku sesuai norma (bermoral)
6.
Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7.
Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam
totalitas dengan sadar diri
8.
Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk
percaya pada Tuhan
Tampak terdapat perbedaan sekaligus
persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya hewan, secara
fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat gradual dan
tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan
berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil, ini berarti jika
manusia dalam kehidupannya hanya bekutat dalam urusan-urusan fisik biologis
seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan
hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi adalah penggunaan
akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya
bagi kepentingan kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan
berbudaya, disamping itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia untuk
berfikir tentang sesuatu yang melebihi pengalamannya seperti keyakinan pada
Tuhan yang merupakan inti dari seluruh ajaran Agama.
Dalam Al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya,
dan berulang kali juga direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam
surga bahkan malaikat, tapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti
dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun. Manusia
dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot
ke tingkat “yang paling rendah dari segala yang rendah” (asfala safilin).
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu
menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba
dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif.
Penciptaan
manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan
terciptanya manusia, yaitu untuk menjadi khalifah.
Manusia adalah
satu kata yang sangat bermakna dalam, dimana manusia adalah makhluk yang sangat
sempurna dari makhluk-makhluk lainya. Makhluk yang sangat spesial dan berbeda
dari makhluk yang ada sebelumnya. Makhluk yang bersifat nyata dan mempunyai
akal fikiran dan nafsu yang diberikan Tuhan untuk berfikir, mecari kebenaran,
mencari Ilmu Pengetahuan, membedakan mana yang baik atau buruk, dan hal lainya.
Karena begitu banyak kesempurnaan yang di miliki manusia tidak terlepas dari
tugas mereka sebagai khalifah di Bumi ini. Karena itu, kualitas, hakikat,
fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di
dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun
demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu
selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal
tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa
menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan
pada tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu,
kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan
bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia yang berkualitas.
Adapun sumber lain mengatakan Al qur’an mengenalkan tiga istilah
kunci (key term) yang mengacu pada makna
pokok manusia, yaitu basyar, al-insan,
dan al-nas.
1. Basyar
Manusia disebut al-basyar, karena
dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang
bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya.
Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan
kembali.
2. Insan
Kata al-insan disebut sebanyak 65
kalidalam al-qur’an. Hamper semua ayat yang menyebutmanusia dengan menggunakan
kata al-insan, konteksnya selalu
menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moralmaupun
spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan yang tidak
dimiliki makhluk lain. Jalaludin Rahmat (1994) memberi pengertian luas al-insan ini pada tiga kategori.Pertama,
al-insan dihubungkan pada
keistimewaan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dan pemikul amanah.
Kedua, al-insan dikaitkan dengan
predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Ketiga, al-insan disebut-sebut dalam hubungannya
dengan proses pencciptaan manusia. Kecuali kategori tiga, semua konteks al-insan menunjuk pada sifat-sifat
psikologis atau spiritual.
3. Al-Nas
Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk social.Manusia dalam
arti al-nas ini paling banyak disebut dalam al-qur’an (240 kali).
Penjelasan
konsep ini dapat ditunjukan dalam dua hal. Pertama, banyak ayat yang menunjukan kelompok-kelompok social
dengan karakteristiknya masing-masing yang satu sama lain belum tentu sama.
Ayat –ayat ini biasanya menggunakan ungkapan wa min al-nas (dan di antara manusia). Memperhatikan ungkapan ini
kita menemukan petunjuk Tuhan bahwa ada kelompok manusia yang menyatakan
beriman padahal sebetulnya tidak beriman (2:8), yang mengambil sekutu-sekutu
selain Allah (2:165), yang hanya
memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang dalam pembicaraan
tentang kehidupan dunia padahalmemusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat dengan
Allah tanpa ilmu, petunjuk dan kitab Allah (22:3,8; 31:20), yang menyembah
Allah dengan iman yang lemah (22:11; 29:10).
Manusia di dunia ini adalah
sebagai wakil Allah Swt. (Q.S.2: 30,38:
26), dan sebagai pewaris-pewaris di muka bumi(Q.S. 27:62). Di samping itu,
manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi, dan
gunung, yang semunya enggan menerimanya. Serta menjadi pemimpin atas diri sendiri, keluarga,
dan masyarakat (H.R.Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar). Semuanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia
sebagai”Khalifah Allah” di muka bumi.
Secara universal tujuan hidup
manusia adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebagiaan itu sendiri sangat relatif sehingga masing-masing orang akan
berbeda dalam memaknai arti bahagia itu sendiri. Ada yang menilai kekayaan
harta benda sebagai sumber kebahagiaan hidup, yang lain menitikberatkan pada
keindahan, pengetahuan, kesusilaan, kekuasaan, budi pekerti, keshalehan hidup,
keagamaan dan sebagainya.
Masing-masing orang, setelah
merenungkan serta menilai hidupnya berdasarkan aneka ragam pengalaman yang
telah dilalui serta pengetahuan yang diperoleh dari orang lain atau bangsa
lain, ternyata mempunyai pandangan yang berbeda, di mana pandangan hidup itu
dijadikan dasar guna mencapai tujuan hidupnya yaitu untuk mendapatkan
kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam keberagaman pandangan hidup yang berbeda itu,
oleh ahli pikir disusun secara sistematis lalu timbullah falsafah hidup
manusia, yang di dalamnya terdapat pokok-pokok bahasan, misalnya; dari mana asalnya hidup, siapa pemberi hidup, apa
tujuan hidup, apa yang akan terjadi sesudah mati, apakah hidup bahagia itu, dan
sebagainya.
Namun sesungguhnya tugas utama
manusia sendiri bukan mencari sebuah kebahagiaan. Secara tidak langsung manusia
hanya menjalankan fungsi haknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi
kewajibannya. Karena jika kita ingat bahwa manusia di samping mempunyai status sebagai makhluk dan
bagian dari alam, ia juga mempunyai tugas sebagai khalifah/penguasa di muka bumi ini. Dengan pengertian, bahwa manusia itu dibebani tanggung jawab dan
anugerah kekuasaan untuk mengatur dan membangun dunia ini dalam berbagai segi
kehidupan, dan sekaligus menjadi saksi dan bukti atas kekuasaan Allah Swt di
alam semesta ini. Tugas
kekhalifahan ini bagi manusia merupakan tugas suci karena merupakan amanah dari
Allah Swt. Makamenjalankan tugas sebagai khalifah dibumi merupakan pengabdian (ibadah) kepada-Nya. Bagi mereka yang beriman akan menyadari statusnya
sebagai khalifah (penguasa) di bumi, serta mengetahui batas kekuasaan yang
dilimpahkan kepadanya.
Tugas kekhalifahan yang
dibebankan kepada manusia itu banyak sekali, tetapi dapat disimpulkan dalam
tiga bagian pokok, sebagaimana yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad, yaitu:
1.
Tugas
kekhalifahan terhadap diri sendiri, meliputi menuntut ilmu yang berguna dan menghiasi diri dengan akhlak yang
mulia.
2.
Tugas
kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga, dengan jalan membentuk rumah tangga bahagia, menyadari dan melaksanakan
tugas dan kewajiban rumah tangga sebagai suami istri dan orang tua.
3.
Tugas
kekhalifahan dalam masyarakat, dengan mewujudkan persatuan dan kesatuan,
menegakkan kebenaran dan keadilan sosial, bertanggung jawab dalam amar ma'ruf
dan nahi munkar dan menyantuni golongan masyarakat yang lemah.
Dalam
memahami manusia tentu harus dipedomani dengan pandangan islam sebagai tolak
ukur yang mendasar untuk mengetahui sesungguhnya apa hakikat manusia. Dalam
pandangan Islam manusia tercipta dari dua unsur yaitu unsur materi dan non
materi.Dari pengertiannya bahwa dimensi materi bermakna manusia adalah al-jism
dan dimensi non-materi bermakna al-ruh.
Dimensi materi memerlukan pendidikan yang berguna untuk
mengembangkan potensi yang sudah terlahir, pembinaan dan pengembangan potensi
yang dimiliki manusia berfungsi untuk menunjukkan bahwa manusia layak menjadi
khalifah dimuka bumi ini. Perkembangan jaman yang terus-menerus semakin
menunjukkan perkembangannya, harus diimbangi dengan ilmu pengetahuan yang
relevan guna untuk memberikan keseimbangan antara alam dengan manusia.Jika
pendidikan tidak mengambil perannya, maka manusia akan tertinggal dan tidak
akan mampu mengelola kapasitas rahasia yang perlu diungkap yang berguna untuk
menambah wawasan manusia dalam mengurus dan menjaga alam.
Dimensi "memiliki" dan "ada" saling
berkaitandengan memiliki" (to have) dan "ada" (to be)
merupakan dua kategori fundamental kemanusiaan. Agar manusia dapat berada,
dapat hidup, dapat berkembang sebagai pribadi ia harus memiliki
sesuatu."Memiliki" berakar dalam eksistensi manusia sendiri.Fromm
menyebut existensial having. Sudah banyak usaha-usaha untuk merumuskan unsur-unsur apa yang
minimal harus termuat dalam "
having" dan "being"
itu. Hal ini dapat dirumuskan dalam kerangka kualitas hidup, nilai-nilai yang
dituju manusia, atau pemenuhan kebutuhan dasar manusia.Aspek "pemilikan" berkaitan
dengan dimensi kejasmian manusia yang memiliki relasi dengan alam, lingkungan
ekologis yang konstitutif bagi kemanusiaan. Relasi manusia dengan alam memiliki
batas-batas yang harus dihormati bila ia melestarikan hidup. Maka apa yang secara teknis mungkin, tidak selalu
secara etis mungkin. Hal yang sama berlaku bagi batas-batas fisik dan psikis
manusia.
a.
Manusia Dalam
Dimensi Antropologis
Antropologi adalah salah
satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat
suatu etnis tertentu.
Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat
ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di
Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat
tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama,
antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada
sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Dalam Antropologi Filsafat, konsep manusia selalu dirumuskan
oleh kelompok tertentu secara struktural memiliki kemungkinan untuk
mengekspresikan ideal budayanya. Dalam sejarah terlihat bahwa kelompok bawah
tidak memperoleh kesempatan secara struktural untuk merumuskan cita-cita kemanusiaanya
secara verbal dan mewujudkannya secara nyata dalam kehidupannya dalam
masyarakat. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kesadaran akan
kemanusiaannya tetapi mereka terhambat secara struktural untuk mengungkapkan
gambarankemanusiaannya. Hal ini yang dikatakan kebudayaan "diam",
seperti yang
dikatakan oleh Paulo Freire.De factonya kelompok bawah hanya menerima formulasi
konsep kemanusiaan dari atas, kelompok yang lebih dominan. Kelompok bawah
menginternalisasikan nilai-nilai itu sehingga cita-cita kemanusiaan sama dengan
cita-cita kelompok penentu.Kelompok elit yang secara ekonomis kuat berusaha
menciptakan idea budaya sesuai dengan kelompoknya.Pola kehidupan mereka adalah
pola kemanusiaan yang konsumtif.Mereka lebih dikenal dengan Humanisme borjuis.
Humanisme borjuis ini mendasarkan diri pada hubungan manusia dengan dunia material. Namun seringkali hubungan humanisme borjuis ini merusak hubungan sosial : yang kuat membangun wilayahnya dengan kerja dari yang lemah. Perbedaan cara hidup dari yang kuat, yaitu kelompok yang mengusai modal, ilmu dan teknologi dan yang lemah teralienasi dari kerja danhasil kerjanya semakin kentara. Terjadilah proses yang kurang manusiawi secara eksistensial adalah kelompok yang lemah, maka inisiatif harus muncul dari kelompok itu sendiri. Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok bawah ini secara struktural tak dimungkinkan untuk mengekspresikan cita-cita kemanusiaanya.Jadi humanisme dalam konteks ini bertitik tolak dari pengalaman negatif yang memperjuangkan kemanusiaanya.Oleh karena itu, untuk membangun manusia bangsa, perlu diperhatikan hal-hal antropologis ini.
Humanisme borjuis ini mendasarkan diri pada hubungan manusia dengan dunia material. Namun seringkali hubungan humanisme borjuis ini merusak hubungan sosial : yang kuat membangun wilayahnya dengan kerja dari yang lemah. Perbedaan cara hidup dari yang kuat, yaitu kelompok yang mengusai modal, ilmu dan teknologi dan yang lemah teralienasi dari kerja danhasil kerjanya semakin kentara. Terjadilah proses yang kurang manusiawi secara eksistensial adalah kelompok yang lemah, maka inisiatif harus muncul dari kelompok itu sendiri. Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok bawah ini secara struktural tak dimungkinkan untuk mengekspresikan cita-cita kemanusiaanya.Jadi humanisme dalam konteks ini bertitik tolak dari pengalaman negatif yang memperjuangkan kemanusiaanya.Oleh karena itu, untuk membangun manusia bangsa, perlu diperhatikan hal-hal antropologis ini.
Dalam sumber lain dijelaskan pula Dalam al qur’an, manusia
berulang kali diangkat derajatnya, dan berulang kali juga direndahkan. Manusia
dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan malaikat, tapi pada saat yang
samamereka tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang
melata sekalipun. Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu
menaklukan alam (taskhir). Namun, posisi ini bias merosot ke tingkat “yang
paling rendah dari segala yang rendah” (asfala safilin). (Muthahhari,
1992b:117).
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu
menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba
dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif. Untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas mengenai kontrdiksi ini, mari kita lihat beberapa
istilah kunci yang mengacu pada makna manusia.
b.
Manusia dalam
Dimensi Sosiologis
Manusia dalam
sejarahnya menciptakan struktur-struktur, tetapi pada gilirannya
struktur-struktur menjadi otonom dan mengkondisikan manusia.Tentu saja hidup
tidak mungkin tanpa tingkat institusionalisasi tertentu.Identitas manusia
membutuhkan konsensus sosial, perlu didukung oleh struktur.Tetapi kerap kali
struktur yang diperkuat oleh berbagai macam sistem legitimasi lebih memperbudak
manusia daripada melindungi dan menciptakan kebebasan yang lebih luas.Di sini
muncul tuntutan etis untuk mengubahnya.Hal ini secara khusus masalah
pemerataan, keadilan sosial dan partisipasi politik.Ketiga hal ini merupakan
nilai-nilai manusiawi yang perwujudannya tergantung pada struktur atau
relasi-relasi sosial.Relasi seimbang manusia dengan sesama dan dengan
lingkungannya seperti dicita-citakan dalam masyarakat kita hanya dapat terjadi
jika benar-benar seimbang secara struktur.
Secara hakiki manusia juga sebagai makhluk social.Manusia
dilahirkan ke dunia dalam kondisi yang lemah tak berdaya. Dia tak mungkin
melangsunhkan hidupnya tanpa orang lain. Potensi-potensi yang dibawa sejak
lahir justru baru bias berkembang dalam pergaulan hidup sesame manusia.
Dalam pergaulan ini, disamping, memenuhikebutuhan
biologosnya, juga dapat memperkembangkan potensi psikologisnya. Dengan kontak
social secara timbal balik, akhirnya dia bias menyesuaikan diri dengan
kehidupan kelompoknya. Dengan penyesuaian diri ini, maka anak telah mulai
membelakangkan kepentingan pribadi, demi kepentingan kelompoknya.
Menurut S. Freud, bila anak sudah dapat bergaul dan
menyesuaikan diri dengan kelompoknya, berarti Das Ichnya sudah dapat mengendalikan Das Es atau egonya.
Dengan kenyataan ini, kehidupan social justru menyempurnakan
pribadinya secara individual. Konsep islam mengenai sosiaalitas manusia (social
being) menghendaki agar setiap orang islam, disamping selalu memelihara
hubungan denhgan Tuhan (hablum minallah), juga harus memelihara hubungan dengan
sesame manusia (hablum minannas). Islam menempatkan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi.
Islam selalu menganjurkan agar setiap orang islam bersaudara
dan saling tolong menolong satu sama lain, dan dengan keras melarang untuk
saling bermusuhan.
c.
Manusia Dalam
Dimensi Teologis
Teologiadalah ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama.Teologi meliputi segala sesuatu
yang berhubungan dengan Tuhan.Para teolog berupaya menggunakan
analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan
dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik
agama.
Teologi memampukan seseorang untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya,
menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi, melestarikan,
memperbaharui suatu tradisi tertentu, menolong penyebaran suatu tradisi,
menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan
masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.
Menurut islam, bukan sekedar ‘Homo Erectus Berkaki Dua’
yang dapat berbicara dan berkuku lebar. Akan tetapi manusia menurut pandangan
islam dapat kita lihat dari al-Qur’an dan al-hadist.
Pertama, al-Qur’an menyebut manusia dengan Insan.Insan
(jamaknya al Nas) dapat di lihat dari banyak asal kata.Insan di lihat
dari anasa artinya melihat (QS 20:10), mengetahui (QS 4:6), dan meminta
izin (QS 24:27).Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan penalaran manusia.Ia
dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui benar dan salah,
dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Sedang insan dilihat dari kata nasiya berarti lupa, yang berkaitan
dengan kesadaran manusia.Jika dilihat dari asal kata al-Uns atau
anisa berarti jinak.Dapat disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki
kaitan erat dengan pendidikan jika di artikan dengan anasa, sebagai
makhluk yang pelupa, dan sebagai makhluk yang tidak liar serta memiliki tata
aturan etik, sopan santun dan berbudaya.
Kedua, Alqur’an juga menyebut manusia
sebagai basyar. Pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam alqur’an
seluruhnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut
adalah anak adam yang bisa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam
pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan[4]. Dengan demikian kata basyar mengacu pada
aspek lahiriyah manusia _bentuk tubuh, makan, minum dan kemudian mati (QS
21:34-35). Sebagaimana di dalam alqur’an disebutkan sebagai jawaban pertanyaan
yang dilontarkan kepada rasulallah SAW yang artinya sebagai berikut:
“Katakanlah: sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku : “bahwa sesungguhnya tuhan kamu itu tuhan yang
esa”. Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang salehdan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadah kepada tuhannya”.
Dari
kedua kata di atas insan dan basyar menunjukan dua dimensi manusia.Kata insan
menunjukan kepada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedang kata basyar
digunakan untuk menunjukan pada dimensi alamiah manusia, yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum dan kemudian mati. Lebih
lanjut, pandangan islam mengenai proses kejadian manusia dapat dilihat dalam
surat al-Mukminun 12-14 yang berarti:
12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan
daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Di sini dapat dikatakan bahwa manusia
terdiri dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang
berasal dari tuhan. Berbeda
dari malaikat yang hanya merupakan makhluk ruhaniyah (bersifat ruh semata) dan
hewan, makhluk yang bersifat jasad material.
d.
Manusia Dalam
Dimensi Pedagogis
Pendidik merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan,
karena dipundaknyalah terletak tanggung jawab yang besar dalam upaya
mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan yang telah dicitakan. Secara
umum pendidik adalah mereka yang mempunyai tanggung jawab mendidik. Menurut
Ahmad Tafsir pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab atas
perkembangan peserta didik.
Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad SAW adalah al-mu’allim al-awwal (pendidik
pertama dan utama) yang telah didik oleh Allah. Pendidik teladan dan
percontohan ada dalam pribadi Rosulullah yang telah mencapai tingkatan
pengetahuan yang tinggi, akhlak luhur, dan menggunakan metode atau alat yang
tepat karena Beliau sudah dididik melalui ajaran-ajaran yang sesuai dengan
Al-Qur’an.
Intinya, pendidik itu merupakan seorang profesional dengan tiga syarat:
memiliki pengetahuan yang lebih, mengimplisitkan nilai dalam pengetahuannya,
dan bersedia mentransfer pengetahuan beserta nilainya pada peserta
didik.Pendidik selain bertugas sebagai transfer of kknowledge, juga merupakan
seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya, dan
dalam melakukan tugas profesinya, pendidik bertanggung jawab sebagai seorang
pengelola belajar (manager of learning), pengarah belajar (director of
learning), dan perencana masa depan masyarakat (planner of the future society).
Dengan tanggung jawab ini pendidik memiliki tiga fungsi yaitu:
a.
Fungsi
Intruksional, bertugas melaksanakan pengajaran.
b. Fungsi Edukasional, bertugas mendik peserta didik agar mencapai tujuannya.
c. Fungsi Managerial, bertugas memimpin dan mengelola proses pendidikan.
Referensi:
No comments:
Post a Comment