Sayang,
Tak ada yang berkata bahwa hubungan dua manusia bisa
berjalan begitu mudahnya. Sebaliknya, ada dua isi kepala berbeda dan dua masa
depan yang harus disatukan, dan proses ini bisa saja menyakitkan. Cinta memang
membahagiakan, namun tak lantas mencegah perbedaan pendapat dan perselisihan.
Hubungan yang sudah berjalan lama akan memberi tantangan
yang lebih besar lagi. Pasalnya, hubungan yang sudah sekian lama memang
termasuk masa-masa rawan. Dalam “masa-masa rawan” ini, semua pasangan tak boleh
sekali-kali lengah jika tak mau berhenti melangkah.
Begitu juga dengan kita. Aku di sini ingin berjuang agar
hubungan kita bisa tetap memiliki masa depan. Semoga, kamu juga berpikiran
sama.
Sayang,
Aku juga ingin kau percaya bahwa selalu ada alasan
kenapa kita dipertemukan. Tentu ini bukanlah suatu kebetulan. Semesta memang
sudah mengatur dengan rapi bagaimana kita bisa bertemu. Pertemuan singkat itu
pun menorehkan guratan istimewa.
Ah, aku yakin kau juga mengalami degup jantung yang
bertalu-talu tiap kali bersamaku. Aku bahkan mulai hafal pada titik-titik
keringat di keningmu, tanda bahwa kau begitu salah tingkah di pertemuan kita
yang selanjutnya. Yang kemudian berganti menjadi semburat merah jambu di pipi
ketika kau melontarkan ajakan untuk menjalin hubungan denganku.
Aku berani bersumpah, jantungku sempat kehilangan
beberapa ketuk iramanya. Sebaliknya, paru-paruku lega luar biasa. Walau campur
aduk rasanya, aku tahu aku bahagia.
Jika hitam memiliki putih,
hujan memiliki kemarau, untuk sepatu bayi dari kain ada kaos kaki putih berenda
lembut. Aku selalu membayangkan manusia seperti mereka: yang satu diciptakan
untuk yang lainnya.
Sayang,
Aku tahu, ini bukan saat-saat paling menyenangkan.
Belakangan ini, kita berdua kerap terantuk kerikil yang tak berhenti datang
menghujani. Tentu aku pun pernah bertanya satu-dua kali: masih harus
dilanjutkankah cerita yang kita bangun selama ini?
Namun aku tak percaya pada kebetulan. Kita pernah
direstui oleh Tuhan, dan itu cukup meyakinkanku untuk bertahan.
Walaupun saat kita bertengkar hebat, kita lupa bahwa
kita adalah sepasang kekasih. Ego yang begitu pekat pernah menutup mata dan
menyumbat telinga. Melarang kita untuk mendengar. Kita hanya bisa mengencangkan
otot leher demi berteriak dan berlomba-lomba untuk bertingkah keras kepala demi
mengutarakan pendapat. Namun, kita tak memiliki keinginan sedikitpun untuk
membalikkan badan dan pergi demi mencari sosok pengganti. Aku sudah terlalu
nyaman berada di dalam rengkuhmu, begitu juga kau yang tak beranjak melepaskan
diri dariku. Tanpa disadari kita telah saling mengisi. Pertengkaran, harus
diakui, merupakan salah satu senyawanya.
Coba tengok betapa bedanya aku dan kamu yang dulu dengan
yang sekarang. Kita tentunya menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa
berkat masalah yang selalu menyelinap masuk di dalam hubungan. Lain kali ketika
masalah masih ada (dan bisa kupastikan dia pasti akan selalu ada) maukah kau
tetap berjuang dan bertahan dalam hubungan?
Sungguh, aku lelah jika harus mengurai jalinan ini dan
harus menambatkannya ke dermaga yang lainnya. Aku tak sanggup lagi jika harus
mencari penggantimu dan memulai hubungan cinta yang baru. Sayang, sungguh kita
tak boleh lelah berusaha. Kita tak boleh memilih menyerah, karena itu sungguh
terlalu mudah.
Sayang,
Kau tak perlu mempertanyakan atau bahkan menimbang
seberapa berat rasa cinta yang menggantung di rongga hatiku. Namamu sudah
tergurat begitu rapi dan sempurna di sana, tak ada yang bisa menghapus maupun
menggantikan, kau tak usah cemas akan itu.
Cilegon, 17 Mei 2017
Your “Hobbit”